Degradasi Protein
dalam Rumen
Sejak
20 tahun lalu, kebutuhan protein pakan untuk ternak ruminansia diekspresikan
dalam bentuk Crude Protein (CP). Protein Kasar (CP) adalah semua ikatan yang
mengandung N. Termasuk di dalamnya adalah :
1.
Protein sesungguhnya (true protein) dan
2.
Zat-zat maknan yang mengandung N tetapi bukan protein (NPN) seperti
amida-amida, alkaloid, garam-garam ammonium, urea dan lain-lain. Nitrogen merupakan bagian yang sangat
penting dari protein. Rata-rata protein mengandung 16% nitrogen. Membicarakan
metabolisme protein pada nutrisi ruminansia sebenarnya lebih tepat jika
dikatakan dengan metabolisme nitrogen.
Protein pakan untuk ruminansia digolongkan
menjadi protein yang dapat dicerna di dalam rumen disebut dengan Digestible Intake Protein (DIP) dan
protein pakan yang lolos degradasi rumen disebut dengan Undigestible Intake Protein (UIP/By-pass protein). Ruminansia memperoleh dua sumber protein untuk kebutuhan
hidupnya, yaitu dari UIP/By-pass protein dan dari mikroorganisme rumen. Protein
yang masuk ke dalam rumen berasal dari pakan dan endogenus N (saliva dan
dinding rumen) dan kedua sumber tersebut dapat berupa protein murni maupun
nitrogen bukan protein (NPN). Di dalam rumen, DIP bersama-sama dengan protein
yang berasal dari saliva akan dirombak oleh enzim protease yang dihasilkan oleh
mikroorganisme (bakteri, protozoa, fungi) proteolitik menjadi oligopeptida. Sekitar
40% bakteri rumen memiliki aktifitas proteolitik. Bakteri ini memiliki enzim
protease yang terikat pada permukaan sel sehingga mudah kontak dengan
pakan/substrat. Protozoa juga memiliki kemampuan sebagai protease intraseluler,
sehingga berperan dalam degradasi protein di dalam rumen. Selanjutnya
oligopeptida akan dihidrolisa oleh enzim peptidase menjadi asam amino. Sebagian
asam amino ini akan diserap melalui dinding rumen dan sebagian lagi dideaminasi
menjadi asam keto alfa yang menghasilkan
amonia, CH4 dan CO2 (Sutardi, 1979). Di samping amonia
perombakan protein juga menghasilkan VFA (Baldwin dan Allison, 1983). Dalam
setiap proses fermentasi asam amino di dalam rumen akan selalu terbentuk
amonia.
Amonia adalah sumber nitrogen yang utama
dan sangat penting untuk sintesis protein mikroorganisme rumen. Menurut Baldwin
dan Allison (1983), sekitar 80% mikroorganisme rumen lebih menyukai amonia
dibanding dengan peptida dan asam amino sebagai sumber nitrogen untuk membentuk
protein tubuhnya. Diduga mikroorganisme tersebut tidak mempunyai mekanisme
transport untuk mengangkut asam amino. Jadi amonia yang terbentuk ini kemudian
diubah menjadi asam amino untuk sintesis protein tubuhnya. Owen dan Bergen
(1983) mengatakan protein asal mikroba rumen mampu menyumbangkan 40-80%
kebutuhan asam amino ternak ruminansia. Secara umum, digesta yang ada di dalam
duodenum mengandung asam-asam amino yang komposisinya hampir sama dengan
komposisi asam-asam amino dari protein mikroba.
Konsentrasi
amonia dalam rumen merupakan keseimbangan antara jumlah yang diproduksi, yang
digunakan oleh mikroorganisme dan diserap melalui dinding rumen. Kecepatan
penyerapan tergantung pada pH rumen dan konsentrasi amonia. Semakin tinggi
konsentrasi amonia maka penyerapan akan semakin tinggi pula. Pada pH 6,5 atau
lebih tinggi penyerapan akan lebih cepat dibandingkan pH 4,5 yang hampir
mencapai 0. Amonia yang diserap jumlahnya bervariasi tergantung jenis pakan
(Hungate, 1966). Konsentrasi amonia yang optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme
rumen menurut Leng (1990) adalah 50 – 80 mg N/l. Namun pada penelitian yang
dilakukan pada hijauan atau jerami dengan kecernaan rendah, diperlukan
konsentrasi amonia 150 – 200 mg N/l. Sementara itu Sutardi (1979) melaporkan
bahwa konsentrasi amonia 4 – 12 mM sudah cukup untuk mencapai pertumbuhan
mikroorganisme yang maksimal.
Amonia
yang dihasilkan selama fermentasi tidak semuanya disintesis kedalam protein
mikroorganisme. Sebagian akan diserap ke dalam darah dan bersama-sama dengan proses
deaminasi, amonia yang tidak terpakai di dalam rumen dibawa ke hati diubah
menjadi urea selanjutnya dikeluarkan melalui urine (Annison dan Lewis, 1959;
Hungate, 1966). Kelebihan amonia akan terakumulasi dalam cairan rumen sehingga
dapat mengubah pH. Kekurangan amonia dapat menghambat aktivitas mikroorganisme
untuk mensintesis protein tubuhnya dan kecepatan pencernaan sehingga menurunkan
suplai energi. Selain dihasilkan oleh protein, amonia juga dapat disumbangkan
dari NPN. Penggunaan 98% NPN saja sebagai sumber nitrogen tanpa dibarengi
dengan sumber protein lain dapat mempertahankan pertumbuhan dan produksi ternak
(Owens dan Bergen, 1983). Namun demikian, apabila ternak dalam phase produksi
tinggi, maka tambahan sumber protein sebagai UIP/by-pass protein perlu dipertimbangkan.
Penggunaan NPN sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein mikroorganisme akan
efektif jika ransum mengandung protein rendah, cukup tersedia energi dan
mineral. Efisiensi penggunaan NPN akan menurun sejalan dengan peningkatan NPN
dalam ransum, semakin tinggi kadar protein ransum dan semakin rendahnya energi
ransum (Clark dan Davis, 1980).
Oleh karena itu, menurut Aldrich et al. (1983), mengoptimalkan
pertumbuhan mikroorganisme rumen merupakan strategi yang lebih logis
dibandingkan memperbesar persentase protein yang lolos degradasi rumen. Hal ini
karena mikroorganisme rumen mensuplai protein dengan kualitas tinggi dan hasil akhir
fermentasi rumen akan memenuhi sebagian besar energi yang dibutuhkan oleh hewan
induk semang. Oleh karena itu, kandungan protein pakan yang optimal seyogyanya
:
1. Dapat memenuhi kebutuhan nitrogen
mikroorganisme rumen untuk mensintesa protein tubuhnya secara maksimal
2. Mengandung by-pass protein/UIP
untuk dapat dihidrolisa di usus halus dalam rangka memenuhi kebutuhan asam amino
ternak ruminansia
Linn et
al.(2002) mengatakan, maksimal mikroorganisme di dalam rumen dapat
mensistesis protein tubuhnya sampai 4,5 pounds per hari. Sisanya dipenuhi dari
by-pass protein. Ternak ruminansia muda yang sedang pertumbuhan maupun ternak-ternak
pada saat phase produksi memerlukan lebih banyak by-pass protein untuk
melengkapi kebutuhan asam aminonya sehingga produksi maksimal tercapai.
Protein pakan yang masuk ke dalam rumen
kira-kira 40-75% akan mengalami perombakan oleh mikroorganisme. Sisanya
merupakan by-pass protein/UIP yang akan dihidrolisa pada saluran pencernaan
pasca rumen maupun terbuang lewat feces. Perombakan protein pakan di dalam
rumen bervariasi dari 0 – 100%
(Owens dan Bergen, 1983), namun laju perombakannya tergantung pada jenis pakan, sifat kimia dan phisik protein,
jumlah mikroorganisme proteolitik, pH rumen, tingkat kelarutan protein serta
lamanya berada dalam rumen atau laju aliran digesta atau rate of passage (Preston
dan Leng, 1987). Aktifitas mikroba rumen yang bersifat proteolitik akan efektif
apabila didukung oleh pH rumen yang optimal, yaitu pH 5,5-7,0 dengan temperatur
sekitar 390C. Degradasi protein akan menurun sejalan dengan
menurunnya pH rumen (Bach et al.,
2005).
Degradasi protein suatu bahan pakan akan
sangat mempengaruhi suplai asam amino bagi hewan inang. Proses proteolisis
menentukan ketersediaan amonia, asam amino, ikatan-ikatan peptida dan asam-asam
lemak rantai cabang yang mana semuanya ini akan berdampak pada kecepatan
pertumbuhan mikroba rumen. Protein yang masuk ke dalam usus halus berasal dari
:
1. protein pakan lolos degradasi rumen/by-pass protein
2. bacterial protein
3. endogenus protein
Getah pankreas maupun enzim protease akan
memecah ketiga sumber protein ini menjadi asam amino dan peptida yang nantinya
diserap di usus halus.
Gambar1. Degradasi protein
pakan di dalam rumen.
Protein Lolos Degradasi Rumen/By-pass Protein
Adalah protein pakan yang lolos degradasi
rumen dan tersedia untuk dicerna di usus halus. Tujuannya adalah :
1.
Melengkapi produksi protein mikroba rumen, sehingga kebutuhan asam amino hewan
inang terpenuhi
2. Protein yang bernilai hayati tinggi terhindar
dari degradasi rumen
3. Mencegah
degradasi asam amino essensial (casein, cystin, methionine) oleh mikroba rumen.
Proses
degradasi protein di dalam rumen tidak dapat dipandang sebagai suatu hal yang
positip atau negatip. Pada situasi tertentu, proses degradasi protein
diperlukan untuk mencukupi kebutuhan amonia bagi mikroba rumen. Pada situasi
yang lain (misalnya protein pakan berkualitas tinggi) laju degradasi diharapkan
tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu, terhadap protein pakan berkualitas
tinggi sering dilakukan proteksi agar terlindung dari degradasi rumen. ARC
(1984) mengatakan bahwa pendugaan kebutuhan protein harus mencakup jumlah
protein pakan yang dapat didegradasi di dalam rumen (yang diperlukan untuk
pertumbuhan mikroba yang yang maksimum) dan jumlah protein pakan yang lolos
degradasi rumen (yang diperlukan untuk melengkapi asam amino asal mikroba
rumen).
Beberapa metoda
yang biasa diterapkan untuk membuat by-pass protein :
a. Panas
Pemanasan pada temperature 120 -180 oC
akan mengurangi kelarutan protein sehingga terhindar dari mikroba rumen
b. Form aldehide/aldehide.
Akan mengurangi kelarutan protein
melalui pembentukan kompleks antara
aldehide dengan amino bebas dari
protein. Biasanya penambahan formaldehide/aldehide ini bertujuan untuk melindungi casein, cystein, methionine agar tidak
difermentasi dalam rumen, namun bisa dicerna/dihidrolisa di abomasum. Perlakuan aldehide/formaldehide ini biasanya
terjadi pada pemeliharaan dengan pertambahan berat badan tinggi (penggemukan).
Kelebihan aldehide/formaldehide dapat menghambat aktifitas selulolitik mikroba
rumen yang pada akhirnya dapat menurunkan kecernaan pakan serat secara
keseluruhan.
c. Encapsulasi
asam amino dengan lemak.
Lemak merupakan bahan yang tidak
larut dalam rumen tetapi larut dalam
suasana asam. Abomasum dan usus
halus mempunyai pH yang lebih rendah dari pada di dalam rumen. Lemak akan dapat
dihidrogenasi dengan adanya lipase dan empedu di dalam duodenum.
d. Tannin
Tannin merupakan bahan yang kurang
larut di dalam rumen. Tannin akan cepat membentuk lapisan seperti kulit dengan
protein. Penambahan tannin 3% akan menurunkan proteolisis pada pH rumen. Ikatan
yang terbentuk antara tannin dengan protein akan pecah pada suasana asam di
abomasum. Pemakaian tannin melebihi 5% akan menghambat aktifitas mikroba
selulolitik sehingga menurunkan kecernaan pakan serat dalam rumen. Kemampuan
tannin melindungi degradasi protein di dalam rumen tergantung pada sumber
protein yang akan dilindungi. Apabila tannin ditambahkan untuk melindungi
protein dari daun gliricidia maupun casein, maka kandungan tannin yang optimum adalah
60 mg/g daun gliricidia. Sementara level tannin optimum untuk melindungi
protein dari tepung kacang kedelai adalah 80 mg/g kacang kedelai.
Pada
penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth and Abdurohman (2005) yang membandingkan
kemampuan tannin dan formaldehide mendapatkan
bahwa kecernaan bahan kering tannin-protein kompleks lebih tinggi dibandingkan
dengan formaldehide-protein kompleks. Protein by-pass yang diperoleh dengan memakai
tannin sebagai pelindung protein tepung kacang kedelai adalah 27,9 g/100g
by-pass protein. Sedangkan protein by-pass yang dihasilkan dengan memakai
formaldehide adalah 54,1 g/100 g by-pass protein.
Tabel 1. Efek Penggunaan Pod Kakao Kada Sapi
Holstein Jantan
Variabel
|
Pod Kakao
|
|||
0%
|
15%
|
30%
|
45%
|
|
Konsumsi BK, kg/hr
|
3,40
|
3,33
|
3,80
|
4,40
|
Kecernaan BK, %
|
71,0
|
61,5
|
55,1
|
43,1
|
DE, MJ/kg
|
12,7
|
11,8
|
8,8
|
8,9
|
Kecernaan PK, %
|
50,5
|
53,4
|
45,8
|
38,9
|
Retensi N, g/hr
|
6,86
|
20,0
|
24,6
|
29,9
|
Pertumbuhan, kg/hr
|
0,750
|
0,723
|
0,928
|
0,830
|
Sumber Ernie Amirroenas (1990)
dalam Sutardi (1997). Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-Ilmu Nutrisi
Ternak. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap IPB
Sintesa Protein Mikroorganisme
Protein asal mikroba
menyumbangkan sebagian besar protein,
mencapai 50 – 80% total
protein yang masuk ke dalam usus halus. (Orskov, 1983). Jumlah protein mikroba
yang masuk ke dalam usus halus tergantung pada ketersediaan zat-zat makanan dan
efisiensi penggunaan zat-zat makanan ini oleh mikroba itu sendiri. Kecepatan
pertumbuhan mikroba rumen sangat mempengaruhi suplai asam amino ternak inang,
oleh karena itu penting untuk memacu pertumbuhan mikroba rumen dengan kecukupan
zat-zat makanan yang diperlukannya. Sintesa protein mikroba, absorpsi peptida
dan asam amino tergantung energi yang tersedia. Jika energi tersedia cukup,
asam amino akan secara langsung digunakan untuk sintesis protein mikroba.
Sebaliknya, jika energi yang tersedia kurang mencukupi maka asam amino akan di
fermentasi menjadi FVA. Faktor-faktor yang mempengaruhi sintesa protein
mikroorganisme yang optimal:
I. Nutrient Preqursor
Semua nutrient preqursor harus
tersedia dalam konsentrasi yang optimum di
dalam rumen. Nutrien tersebut adalah
1. Energi dalam bentuk ATP
2. Nitrogen
3. Asam-asam amino
4. Asam-asam lemak rantai cabang (BCFA =
branched-chain fatty acids)
5. Mineral
6. Vitamin
1. Energi dalam
bentuk ATP
Suplai energi yang fermentabel
merupakan faktor pembatas utama untuk pertumbuhan mikroba rumen. Readily
fermentable carbohydrates seperti gula dan pati
akan lebih
efektip sebagai sumber energi dibandingkan dengan selulose.
Produksi protein mikroba dapat diukur berdasarkan ME, fermentable ME,
digestible karbohidrat atau bahan organik yang fermentable. Sintesa protein mikroba yang maksimum bisa
dihasilkan hanya dari pemberian hijauan dengan kualitas bagus. Menurut Verbic
(2002), apabila ternak diberi hijauan dengan kecernaan bahan organik 82%, maka
sintesa protein mikroba mencapai 130 g/kg DM intake. Namun ketika kecernaan bahan
organik hijauan yang diberikan menurun menjadi 60%, maka produksi protein
mikrobapun menurun menjadi 90 g/kg DM intake. Menurut Huber dan Kung (1981),
efisiensi sintesis protein mikroba rumen dapat dimaksimumkan bila semua
prekursor tersebut tersedia dalam jumlah yang cukup. Hal ini berarti bahwa
suplementasi suatu nutrien harus diselaraskan dengan ketersediaan nutrien
lainnya. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu
produksi protein mikroba karena selain merupakan sumber kerangka karbon juga
sebagai sumber energi dalam bentuk ATP.
2 Pasokan senyawa
Nitrogen
Sering terjadi bahwa
pertumbuhan mikroba rumen dibatasi oleh ketersediaan energi. Akan tetapi pada
keadaan tertentu amonia atau sumber nitrogen lainnya bisa jadi lebih defisien
dibandingkan dengan energi. Misalnya, ternak diberi ransum yang mengandung
sumber energi mudah terlarut (degradable energi) cukup tinggi namun proteinnya
sulit terfermentasi di dalam rumen. Pada keadaan seperti ini maka amonia,
asam-asam amino dan peptida menjadi defisien untuk pertumbuhan mikroba. Untuk
ransum seperti ini perlu ditambahkan sumber nitrogen agar pertumbuhan mikroba
rumen tidak terhambat (Clark et al.,
1987). Menurut Minson (1993), jumlah protein yang disintesa oleh mikroba rumen
tergantung pada nitrogen yang dilepaskan dan energi yang tersedia. Menurut
Aldrich et al. (1993), Kecepatan
produksi ATP dari fermentasi rumen agar sebanding dengan kecepatan pelepasan
amonia dari hasil fermentasi protein di dalam rumen. Sehingga dengan demikian sintesa
protein mikroba yang maksimal bisa tercapai. Rata-rata produksi protein mikroba
adalah 81g CP/Kg DM intake. Nilai ini bervariasi dari 34 – 162 g CP/Kg DM
intake.
Seperti
telah disampaikan sebelumnya, degradasi protein (terutama yang berkualitas bagus)
dalam rumen merupakan faktor yang merugikan. Namun di lain pihak, senyawa
nitrogen yang dilepaskan pada saat degradasi protein penting untuk pertumbuhan
mikroba rumen. Pasokan nitrogen selain diperoleh dari protein pakan (true
protein maupun NPN), juga bisa diperoleh dari nitogen metabolik/endogenus N
yang berasal dari oksidasi asam amino jaringan ternak yang di daur ulang di
dalam rumen.
Nolan et al. (1989) menyatakan bahwa efisiensi pertumbuhan mikroba rumen
akan meningkat dan aliran protein asal mikroba rumen serta protein pakan ke
organ pasca rumen akan lebih banyak bila protozoa tidak ada. Merchen dan
Titgemeyer (1992) juga mengatakan bahwa defaunasi dapat meningkatkan aliran
protein kasar ke organ pencernaan pasca rumen sebesar 18%.
Tabel 2. Pengaruh Defaunasi
Rumen terhadap Pertumbuhan Ternak,
Konsumsi dan
Parameter Rumen.
Peubah
|
Ternak
|
Faunasi
|
Defaunasi
|
Sumber Pustaka
|
Pertumbuhan (g/hari)
|
Sapi
|
530
|
757
|
Bird & Leng (1978)
|
Domba
|
122
|
132
|
Bird & Leng (1984)
|
|
Konsumsi BK (g/hari)
|
Domba
|
870
|
930
|
Bird & Leng (1984)
|
Domba
|
455
|
510
|
Bird (1991)
|
|
Amonia rumen (mgN/l)
|
Domba
|
348
|
272
|
McNabb et
al. (1988)
|
|
Domba
|
255
|
163
|
Ushida et
al. (1988)
|
N-mikroba (g/kg BOFD)*
|
Domba
|
32
|
35
|
Rowe et
al. (1985)
|
Domba
|
27,4
|
42,7
|
Meyer et
al. (1986)
|
|
Degradasi protein (%)**
|
Domba
|
54,5
|
43,8
|
Jouany (1991)
|
Keterangan :
* Bahan Organik Terfermentasi di Rumen
**
Rataan dari 4 macam sumber protein pakan
Tabel 3. Konsentrasi N-NH3 Optimum untuk Pertumbuhan Mikroba Rumen
No.
|
N-NH3 (Amonia)
|
Daftar Pustaka
|
1
|
50 – 80 mg N/l
|
Leng (1990)
|
|
150 – 200 mg N/l
|
Leng (1990)
|
2
|
4 – 12 mM
|
Sutardi (1979)
|
3
|
20 – 22 mg N/100 ml
|
National Academy Press (1985)
|
3. Asam amino
Untuk
sintesis protein tubuhnya, mikroba juga memerlukan asam amino yang diperoleh
dari degradasi protein pakan. Tetapi umumnya sebagian besar asam amino akan
dideaminasi menjadi amonia yang kemudian digunakan untuk sistesis protin
mikroba. Hanya asam amino tertentu saja
yang penting bagi pertumbuhan mikroba rumen untuk dikonversi seperti : leucine,
isoleucine dan valin masing-masing menjadi iso valerat, 2-methylbutyrate dan
isobutyrate.
Ternak ruminansia sama dengan ternak
monogastrik, tidak dapat mensintesa semua asam amino. Oleh karena itu, pada
ternak ruminansia juga dikenal istilah asam amino essensial (indispensable
amino acids) dan asam amino non
essensial (dispensable amino amino
acids). Mikroba rumen mempunyai peranan sangat besar terhadap asam amino
yang sampai di usus halus. Profil asam amino yang sampai di usus halus sangat
berbeda dengan yang ada pada pakan yang diberikan. Hal ini disebabkan karena
kemampuan mikroba rumen mengubah kualitas protein pakan yang rendah menjadi
kualitas yang bagus. Namun sebaliknya mikroba rumen juga mengubah protein pakan
kualitas bagus menjadi tidak bermutu apabila sumber protein tersebut tidak
dilindungi.
4. Branched Chain Fatty Acids
BCFA berasal dari produk fermentasi
protein ransum dan mikroba rumen yang lisis.
Jika BCFA kurang, maka perlu disuplementasi.Biasanya BCFA diperlukan
pada ternak-ternak yang mengalami defaunasi dan pada ternak yang pada ransumnya
lebih banyak menggunakan NPN. Walaupun penambahan NPN dapat meningkatkan
produktifitas mikroorganisme, namun untuk mengoptimalkan pemanfaatan NPN
tersebut harus diimbangi dengan penambahan karbohidrat. Seperti yang dikatakan
oleh Montong et al. (1981) bahwa penambahan protein dalam ransum dimana
tersedia pati akan menaikkan kecernaan pakan karena pati sebagai sumber energi
(ATP) yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba rumen.
Selanjutnya Clark dan Davis (1980) mengatakan, NPN akan digunakan lebih efisien apabila ditambahkan dalam
jumlah yang sedikit dalam ransum
yang rendah protein dan tinggi energi. Efisiensi
penggunaan NPN menurun dengan semakin meningkatnya taraf NPN, semakin tingginya
kadar protein ransum dan semakin rendahnya kadar energi ransum.
5. Mineral
Terutama mineral sulfur baik untuk sintesa protein mikroba yang
mengandung sulfur maupun untuk pertumbuhan hewan inang. Asam amino yang
mengandung sulfur : Methionine, Sistin
dan Sistein. Kadar sulfur mencapai 8
g/kg biomassa mikroba. sulfur juga merupakan komponen vitamin
terutama tiamin dan biotin. Suplementasi sulfur
penting untuk memacu pertumbuhan fungi dan bakteri selulolitik yang
mampu meningkatkan kecernaan pakan serat sampai 16%. Suplementasi sulfur juga
dapat meningkatkan laju sintesis asam amino yang bersulsfur dan aliran protein mikroba
ke pasca rumen. Sulfur yang diberikan
bisa sulfur organik maupun anorganik. Sumber sulfur bisa diperoleh dari
garam-garam sulfat (amonium sulfat, natrium sulfat,kalsium sulfat), methionine,
hidroksi analog methionine (MHA).
II. pH rumen
pH rumen yang rendah dapat mengganggu
pertumbuhan mikroba rumen, sehingga produksi protein mikroba menjadi berkurang.
Hal ini diakibatkan karena kecernaan pakan hijauan menurun sehingga energi yang
semestinya bisa dimanfaatkan menjadi terbuang. Rumen pH optimum untuk sintesa
protein maksimal adalah 6,5 – 7,2, suasana rumen anaerobik dan suhu rumen
konstant 37,5 – 38,5 oC.
Menurut Demeyer dan Van Nevel (1979) pada
domba yang didefaunasi, sintesis protein mikrobanya 33% lebih tinggi
dibandingkan sintesis protein mikroba pada domba yang tidak di defaunasi. Sumbangan
biomassa protozoa rumen untuk nutrisi induk semang tidak begitu banyak. Hal ini
disebabkan karena biomassa protozoa tidak tersedia bagi pencernaan di usus. Protozoa
cenderung tertahan di rumen sehingga memiliki nilai ” turn over” yang lambat,
hanya sebagian kecil saja protozoa yang mengalir ke pasca rumen (Leng et al., 1986). Pada situasi yang lain,
kehadiran protozoa diperlukan untuk mempertahankan pH rumen. Protozoa biasanya
akan menyimpan karbohidrat pakan yang mudah larut (Soluble
carbohydrates/Readily Fermentable Carbohydrate = RFC) ke dalam tubuhnya. Dengan
demikian akan memperlambat laju konversi RFC menjadi asam laktat. Konversi yang
terlalu cepat menjadi asam akan berakibat pada penurunan pH rumen. Penurunan pH
rumen yang drastis akan mematikan bakteri rumen terutama yang bersifat
selulolitik. Menurunnya jumlah bakteri yang bersifat selulolitik berdampak pada
menurunnya kecernaan pakan serat dan juga sintesa protein mikroba.
III. Rumen outflow
rate/laju alir digesta/rate of passage
Semakin cepat laju alir digesta, maka sintesa protein mikroba juga semakin
meningkat. Semakin cepat laju alir digesta berarti semakin tinggi dry matter
intakenya (DMI). Hijauan kualitas rendah mempunyai laju alir digesta yang
rendah, sehingga DMI juga rendah. Hal ini pada gilirannya menghasilkan sintesa
protein mikroba yang rendah pula. Menurut Verbic (2002) sintesa protein
mikroba meningkat 20% apabila rumen
outflow meningkat dari 0,02 menjadfi 0,08/jam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar