“ Organisme Penyebab Penyakit Dalam
Bahan Pangan “
Oleh : I Gede Benson Andika
(1107105001)
1. Vibrio
Parahaemolyticus
Bakteri Vibrio parahaemolyticus hidup
pada daerah sekitar muara sungai (brackish water atau estuaries), pantai
(coastal waters) tetapi tidak hidup pada laut dalam (open sea). Bakteri ini
terutama hidup di perairan Asia Timur. Bakteri ini tumbuh pada air laut dengan
kadar NaCl optimum 3%, pada skisaran suhu 5- 430C, pH 4,8 –11 dan water activity
(aw)
0,94- 0,99. Pertumbuhan berlangsung cepat pada suhu optimum 370C
dengan waktu generasi hanya 9 - 10 menit. Selama musim dingin, organisme ini
ditemukan di lumpur laut, sedangkan selama musim panas mereka ditemukan di
perairan pantai. Bakteri Vp dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan,
udang, ikan dan produk makanan laut lainnya.
Distribusi penyakit
Kasus sporadis dan beberapa KLB dengan common
source dilaporkan dari berbagai bagian dunia, terutama dari Jepang, Asia
Tenggara dan AS. Beberapa KLB dengan korban yang banyak terjadi di AS yang
disebabkan karena mengkonsumsi seafood yang tidak dimasak dengan
sempurna. Kasus-kasus ini terjadi terutama pada musim panas.
Proses Penularan
Bakteri Vibrio parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh manusia yang
mengkonsumsi produk makanan laut seperi udang, kerang, ataupun ikan mentah yang
dimasak kurang sempurna. Penularan juga dapat terjadi pada makanan yang telah
dimasak sempurna namun tercemar oleh penjamah yang pada saat bersamaan
menangani produk ikan mentah.
Siklus hidup
Penyakit
Jika kita mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi Vibrio Parahaemolyticus,
ada kemungkinan kita terkena gastroenteritis bila sistem kekebalan tubuh dalam
keadaan buruk. Gastroenteritis atau diare akut adalah kekerapan dan keenceran
BAB dimana frekuensinya lebih dari 3 kali perhari dan banyaknya lebih dari 200
– 250 gram (Syaiful Noer, 1996). Istilah gastroenteritis digunakan secara luas
untuk menguraikan pasien yang mengalami perkembangan diare dan/atau muntah
akut. Istilah ini menjadi acuan bahwa terjadi proses inflamasi dalam lambung
dan usus. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang
lebih banyak dari biasanya (normal 100 – 200 ml per jam tinja), dengan tinja
berbentuk cairan atau setengah cair (setengah padat) dapat pula disertai
frekuensi yang meningkat (Arif Mansjoer, 1999 : 501).Diare adalah defekasi yang
tidak normal baik frekuensi maupun konsistensinya, frekuensi diare lebih dari 4
kali sehari.
Saluran gastrointestinal berjalan dari mulut melalui esofagus, lambung
dan usus sampai anus. Esofagus terletak di mediastinum rongga torakal, anterior
terhadap tulang punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Selang yang
dapat mengempis ini, yang panjangnya kira-kira 25 cm (10 inchi) menjadi
distensi bila makanan melewatinya. Bagian sisa dari saluran gastrointestinal
terletak di dalam rongga peritoneal. Lambung ditempatkan di bagian atas abdomen
sebelah kiri dari garis tengah tubuh, tepat di bawah diafragma kiri. Lambung
adalah suatu kantung yang dapat berdistensi dengan kapasitas kira-kira ± 1500
ml. Lambung dapat dibagi ke dalam empat bagian anatomis, kardia, fundus, korpus
dan pilorus. Usus halus adalah segmen paling panjang dari saluran
gastrointestinal, yang jumlah panjangnya kira-kira dua pertiga dari panjang
total saluran. Untuk sekresi dan absorbsi, usus halus dibagi dalam 3 bagian
yaitu bagian atas disebut duodenum, bagian tengah disebut yeyunum, bagian bawah
disebut ileum. Pertemuan antara usus halus dan usus besar terletak dibagian
bawah kanan duodenum. Ini disebut sekum pada pertemuan ini yaitu katup
ileosekal. Yang berfungsi untuk mengontrol isi usus ke dalam usus besar, dan
mencegah refluks bakteri ke dalam usus halus. Pada tempat ini terdapat apendiks
veriformis. Usus besar terdiri dari segmen asenden pada sisi kanan abdomen,
segmen transversum yang memanjang dari abdomen atas kanan ke kiri dan segmen
desenden pada sisi kiri abdomen. Yang mana fungsinya mengabsorbsi air dan
elektrolit yang sudah hampir lengkap pada kolon. Bagian ujung dari usus besar
terdiri dua bagian. Kolon sigmoid dan rektum kolon sigmoid berfungsi menampung
massa faeces yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung. Kolon
mengabsorbsi sekitar 600 ml air perhari sedangkan usus halus mengabsorbsi
sekitar 8000 ml kapasitas absorbsi usus besar adalah 2000 ml perhari. Bila
jumlah ini dilampaui, misalnya adalah karena adanya kiriman yang berlebihan
dari ileum maka akan terjadi diare. Rektum berlanjut pada anus, jalan keluar
anal diatur oleh jaringan otot lurik yang membentuk baik sfingter internal dan
eksternal
Diare akut akibat bakteri Vp disebabkan invasi bakteri dan
sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang
disertai lendir dan darah sehingga disebut diare inflamasi. Akibatnya terjadi
kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Masa inkubasi bakteri Vp
biasanya antara 12 sampai 24 jam, tetapi dapat juga berkisar antara 4 sampai30
jam.
Cara Pencegahan
Berbagai tindakan preventif
mutlak dilakukan untuk meminimalkan terjadinya keracunan makanan dan
gastroenteritis. Namun, pencegahan yang dilakukan tidak perlu dengan
menghindari produk yang potensial tercemar mikroba karena produk pangan
tersebut merupakan salah satu sumber asupan gizi yang diperlukan tubuh kita.
Untuk produk makanan laut segar, pencucian dapat menurunkan potensi bahaya
akibat bakteri Vp. Pencucian atau pembilasan makanan dapat menghilangkan
kotoran dan kontaminan lainnya. Pencucian dapat dilakukan dengan air, deterjen,
larutan bakterisidal seperti klorin, dan lain-lain.
Air yang dipakai untuk
mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan
makanan Selain itu, produk makanan laut yang akan dimakan hendaknya dimasak
secara sempurna untuk membunuh larva yang mengkontaminasi makanan. Untuk ikan
yang akan dikalengkan,dibekukan atau dikeringkan, sebaiknya dilakukan
pemblansiran terlebih dahulu.
Blansir adalah suatu cara
perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau
pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 derajat Celsius. Waktu blansir
bervariasi antara 1-11 menit tergantung dari macam tergantung pada jenis,
ukuran, derajat kematangan ikan yang diinginkan.Tujuan pemblansiran adalah
untuk menghambat atau mencegah aktivitas enzim Vibrio parahaemolyticus. Blansir
merupakan pemanasan pendahuluan bahan pangan yang biasanya dilakukan untuk
makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau dikeringkan. Maksudnya untuk
menghambat atau mencegah aktivitas enzim dan mikroorganisme. Penyajian pasca
pemasakan juga tidak boleh luput dari perhatian. Sebaiknya makanan yang telah
melalui proses pemasakan langsung dikonsumsi. Sebagian besar kasus foodborne
diseases di Indonesia diakibatkan oleh penanganan pasca pemasakan yang tidak
sempurna, seperti penyimpanan yang terlalu lama. Untuk produk pangan yang dikalengkan,
sebaiknya perhatikan keadaan kaleng. Jangan mengonsumsi makanan dari kaleng
yang sudah rusak atau berbau asam. Selain itu, tanggal kedaluwarsa juga mutlak
diperhatikan. Satu hal yang perlu mendapat perhatian untuk produk kemasan
adalah proses yang tidak sempurna dan kerusakan kemasan selama distribusi
maupun penyimpanan.
Ciri-ciri makanan kaleng
yang telah rusak, yaitu flipper, springer, soft swell, dan hard swell.
Flipper dapat dicirikan permukaan kaleng kelihatan datar, tetapi bila
salah satu ujung kaleng ditekan, ujung lainnya akan menjadi cembung.Springer
dapat dicirikan dari salah satu ujung kaleng sudah cembung secara permanen.
Bila ditekan, cembung akan bergerak ke arah yang berlawanan.Soft swell dicirikan
dengan kedua ujung kaleng sudah cembung, tetapi belum begitu keras sehingga
masih bisa ditekan sedikit ke dalam. Hard swell dicirikan dengan kedua
ujung permukaan kaleng cembung dan sangat keras, sehingga tidak bisa ditekan ke
dalam oleh ibu jari.Selain itu, masih ada flat sour, yakni permukaan
kaleng tetap datar tetapi produknya sudah berbau asam yang menusuk. Hal itu
disebabkan oleh aktivitas spora bakteri tahan panas yang tidak hancur selama
proses sterilisasi. Cara pencegahan yang lain adalah dengan pemberian Imunisasi
aktif dengan vaksin mati whole cell, yang diberikan secara parenteral
kurang bermanfaat untuk penanggulangan wabah maupun untuk penanggulangan
kontak. Vaksin ini hanya memberikan perlindungan parsial (50%) dalam jangka
waktu yang pendek (3 - 6 bulan) di daerah endemis tinggi tetapi tidak
memberikan perlindungan terhadap infeksi asimptomatik; oleh karena itu
pemberian imunisasi tidak direkomendasikan. Dua jenis Vaksin oral yang
memberikan perlindungan cukup bermakna untuk beberapa bulan terhadap kini
tersedia di banyak negara. Pertama adalah vaksin hidup (strain CVD 103
– HgR, dosis tunggal tersedia dengan nama dagang Orachol® di
Eropa dan Mutacol di Kanada, SSV1); yang lainnya adalah vaksin mati yang
mengandung vibrio yang diinaktivasi ditambah dengan subunit B dari toksin
kolera, diberikan dalam 2 dosis (Dukoral, SBL). Sampai dengan akhir tahun 1999,
vaksin-vaksin ini belum mendapat lisensi di AS.
2. Bacillus
Cereus
Bacillus cereus merupakan
bakteri yang berbentuk batang, tergolong bakteri Gram-positif, bersifat
aerobik, dan dapat membentuk endospora. Keracunan akan timbul jika seseorang
menelan bakteri atau bentuk sporanya, kemudian bakteri bereproduksi dan
menghasilkan toksin di dalam usus, atau seseorang mengkonsumsi pangan yang
telah mengandung toksin tersebut. Ada dua tipe toksin yang dihasilkan oleh Bacillus
cereus, yaitu toksin yang menyebabkan diare dan toksin yang menyebabkan
muntah (emesis).
Gejala
keracunan:
-
Bila seseorang mengalami keracunan yang
disebabkan oleh toksin penyebab diare, maka gejala yang timbul berhubungan
dengan saluran pencernaan bagian bawah berupa mual, nyeri perut seperti kram,
diare berair, yang terjadi 8-16 jam setelah mengkonsumsi pangan.
-
Bila seseorang mengalami keracunan yang
disebabkan oleh toksin penyebab muntah, gejala yang timbul akan bersifat lebih
parah dan akut serta berhubungan dengan saluran pencernaan bagian atas, berupa
mual dan muntah yang dimulai 1-6 jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar.
Bakteri penghasil toksin
penyebab muntah bisa mencemari pangan berbahan beras, kentang tumbuk, pangan
yang mengandung pati, dan tunas sayuran. Sedangkan bakteri penghasil toksin
penyebab diare bisa mencemari sayuran dan daging.
Tindakan pengendalian khusus
bagi rumah tangga atau penjual makanan terkait bakteri ini adalah pengendalian
suhu yang efektif untuk mencegah pertunasan dan pertumbuhan spora. Bila tidak
tersedia lemari pendingin, disarankan untuk memasak pangan dalam jumlah yang
sesuai untuk segera dikonsumsi. Toksin yang berkaitan dengan sindrom muntah
bersifat resisten terhadap panas dan pemanasan berulang, proses penggorengan
pangan juga tidak akan menghancurkan toksin tersebut.
3.
Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif
berbentuk batang pendek yang memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm,
lebar 0,4-0,7μm dan bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk
koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata.
Manfaat dan Patogenesitas
E.
coli adalah anggota flora normal usus. E. coli berperan
penting dalam sintesis vitamin K, konversi pigmen-pigmen empedu, asam-asam
empedu dan penyerapan zat-zat makanan. E. coli termasuk ke dalam bakteri
heterotrof yang memperoleh makanan berupa zat oganik dari lingkungannya karena
tidak dapat menyusun sendiri zat organik yang dibutuhkannya. Zat organik
diperoleh dari sisa organisme lain. Bakteri ini menguraikan zat organik dalam
makanan menjadi zat anorganik, yaitu CO2, H2O, energi, dan mineral. Di dalam
lingkungan, bakteri pembusuk ini berfungsi sebagai pengurai dan penyedia
nutrisi bagi tumbuhan (Ganiswarna, 1995).
E.
coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam
saluran pencernaan meningkat atau berada di luar usus. E. coli menghasilkan
enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare. E. coli berasosiasi
dengan enteropatogenik menghasilkan enterotoksin pada sel epitel (jawetz et
al., 1995).
Pengobatan
Infeksi
oleh E. coli dapat diobati menggunakan sulfonamida, ampisilin,
sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin dan aminoglikosida. Aminoglikosida kurang
baik diserap oleh gastrointestinal, dan mempunyai efek beracun pada ginjal.
Jenis antibiotik yang paling sering digunakan adalah ampisilin. Ampisilin
adalah asam organik yang terdiri dari satu inti siklik dengan satu rantai
samping. Inti siklik terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin betalaktam, sedangkan
rantai sampingnya merupakan gugus amino bebas yang mengikat satu atom H
(Ganiswarna, 1995).
Ampisilin
memiliki spektrum kerja yang luas terhadap bakteri Gram negatif, misalnya E.
coli, H. Influenzae, Salmonella, dan beberapa genus Proteus. Namun
ampisilin tidak aktif terhadap Pseudomonas, Klebsiella, dan Enterococci
(Setiabudy dalam Ganiswarna, 1995). Ampisilin banyak digunakan untuk mengatasi
berbagai infeksi saluran pernafasan, saluran cerna dan saluran kemih (Tan Hoan
Tjay dan Raharja, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar