BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan fisik
yang dapat mempengaruhi konsumsi ransum ternak broiler selain faktor lainnya.
Penurunan maupun peningkatan suhu lingkungan akan berperan penting dalam
konsumsi ransum, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertambhan bobot badan
ternak broiler. Umumnya penurunan suhu lingkungan akan meningkatkan konsumsi
ransum dan peningkatan suhu lingkingan akan menurunkan konsumsi ransum. Hal ini
akan saling berhubungan dengan proses penyeimbangan suhu tubuh ternak broiler
dalam usaha mempertahankan suhu tubuhnya.
I.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah hubungan antara perubahan suhu
lingkungan terhadap konsumsi ransum ayam pedaging ( broiler ) ?
I.3 Tujuan Penulisan
Mamahami tentang hubungan perubahan suhu lingkungan
terhadap pertambahan bobot badan ternak broiler dan memahami tentang respon
tubuh ternak broiler terhadap perubahan suhu lingkingan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Ayam Pedaging ( Broiler
)
Broiler merupakan istilah untuk memberi sebutan
kepada ayam ras potong atau ayam pedaging jenis jantan atau betina yang berumur
sekitar 6-8 minggu yang dipelihara secara intensif agar diperoleh produksi
optimal (Irawan, 1996). Sedangkan menurut Murtidjo (2003), bahwa daging ayam
broiler dipilih sebagai salah satu alternatif, karena seperti yang telah
diketahui bahwa broiler sangat efisien diproduksi. Jangka waktu 6-8 minggu ayam tersebut sanggup
mencapai berat hidup 1,5 kg – 2 kg dan secara umum dapat memenuhi selera
konsumen.
Menurut Rasyaf (2004), ayam
pedaging adalah ayam jantan dan betina muda yang berumur di bawah 8 minggu
ketika dijual dengan bobot tubuh tertentu, mempunyai pertumbuhan yang cepat
serta mempunyai dada yang lebar dengan timbunan daging yang baik dan
banyak. Kelebihan broiler sebagai ayam
pedaging adalah broiler yang berusia 6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam
kampung dewasa dan bila dipelihara hingga berusia 8 bulan, bobotnya dapat mencapai
2 kg. Berat sebesar itu sulit dicapai
oleh ayam kampung dewasa maupun ayam ras afkir usia 1,5 tahun. Selain itu masyarakat juga mengenal broiler
karena mempunyai rasa yang khas, empuk dan dagingnya banyak.
Hardjoswaro dan
Rukminasih (2000) menyatakan bahwa ayam broiler dapat digolongkan ke
dalam kelompok unggas penghasil daging artinya dipelihara khusus untuk
menghasilkan daging. Umumnya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: kerangka tubuh besar, pertumbuhan badan cepat,
pertumbuhan bulu yang cepat, lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi
daging.
Rasyaf (2004) juga menyatakan bahwa ayam dan jenis
unggas lainnya membutuhkan sejumlah nutrisi yang lengkap untuk menunjang
hidupnya, untuk pertumbuhan dan untuk berproduksi. Unggas membutuhkan lebih dari 40 material
kimiawi yang diklasifikasikan ke dalam enam kelas yakni karbohidrat, lemak,
protein, vitamin, mineral dan air. Semuanya harus ada dalam ransum yang dimakan
kemudian dinyatakan bahwa kandungan nutrisi pada fase starter mengandung
protein 19,5 – 21,2 %, energi metabolisme 2851 – 3180 kkal/kg ransum sedangkan
finisher protein 22,0 – 22,7 % dan energi metabolisme 3290 – 3399 kkal/kg
ransum.
Konsumsi
Ransum
Konsumsi pakan merupakan ukuran untuk mengetahui
jumlah pakan yang dikonsumsi seekor ternak setiap ekor per hari. Kebutuhan unggas yang paling utama yaitu
energi dan protein, sedikit vitamin dan mineral. Zat-zat tersebut diperoleh unggas dari
pakan/ransum yang dikonsumsi setiap hari (Wahyu, 1984).
Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya
sejumlah unsur nutrisi yang ada di dalam ransum yang telah tersusun dari
berbagai bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ayam broioler (Rasyaf,
1994). Menurut Tilman, dkk (1986), sifat khusus unggas adalah mengkonsumsi
pakan untuk memperoleh energi sehingga pakan yang dimakan tiap harinya
cenderung berhubungan dengan kadar energinya. Wahyu (1984) menyatakan bahwa
konsumsi akan meningkat bila diberi ransum yang berenergi rendah dan menurun
bila diberi ransum yang berenergi tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi
konsumsi ransum broiler diantaranya besar dan bangsa ayam, luas kandang,
tingkat energi dan protein dalam ransum. Church (1979), menyatakan bahwa faktor
yang dapat mempengaruhi konsumsi adalah palatabilitas. Palatabilitas
dipengaruhi oleh bau, rasa, tekstur dan warna pakan yang diberikan.
Konsumsi
ayam dapat pula dipengaruhi oleh kapasitas tembolok. Meskipun kebutuhan
energinya belum terpenuhi, namun ayam akan berhenti makan apabila temboloknya
sudah penuh (Tilman, dkk, 1986). Rasyaf
(1992), menyatakan bahwa tembolok merupakan alat pencernaan pertama sebelum
masuk ke proses berikutnya. Sebagai alat
pencernaan pertama yang sifatnya sebagai penampung, kapasitas tembolok tidak
banyak atau terbatas.
Cahyono (2001) menyatakan bahwa ransum yang baik
harus mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral dalam jumlah
berimbang. Selain memperhatikan kualitas pemberian ransum juga harus sesuai
dengan umur ayam karena nilai gizi dan jumlah ransum yang diperlukan pada
setiap pertumbuhan berbeda. Selanjutnya dinyatakan bahwa fungsi makanan yang
diberikan pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, membentuk jaringan
tubuh, mengganti bagian-bagian yang rusak dan selanjutnya untuk keperluan
produksi.
Bahan makanan yang tersedia dan terbanyak dimakan
oleh bangsa unggas berasal dari biji-bijian, limbah pertanian, dan sedikit dari
hasil hewani serta perikanan. Oleh
karena itu, bahan makanan yang digunakan hendaknya tidak bersaing dengan
kebutuhan manusia dan mudah didapatkan serta harganya relatif murah (Rasyaf,
2004).
Kebutuhan nutrisi broiler periode starter dan
finisher sesuai Standar Nasional Indonesia (2006) dapat dilihat pada Tabel 1
dan 2, sebagai berikut :
Tabel 1. Kebutuhan
Nutrisi Broiler Periode Starter
No.
|
Parameter
|
Satuan
|
Persyaratan
|
1.
|
Kadar air
|
%
|
Maks. 14,0
|
2.
|
Protein kasar
|
%
|
Min. 19,0
|
3.
|
Lemak kasar
|
%
|
Maks. 7,4
|
4.
|
Serat kasar
|
%
|
Maks. 6,0
|
5.
|
Abu
|
%
|
Maks. 8,0
|
6.
|
Kalsium (Ca)
|
%
|
0,90 – 1,20
|
7.
|
Fosfor (P) total
|
%
|
0,60 – 1,00
|
8.
|
Energi Metabolisme (EM)
|
Kkal/Kg
|
Min. 2900
|
Sumber : Standar Nasional Indonesia (2006)a
Tabel . Kebutuhan
Nutrisi Broiler Periode Finisher
No.
|
Parameter
|
Satuan
|
Persyaratan
|
1.
|
Kadar air
|
%
|
Maks. 14,0
|
2.
|
Protein kasar
|
%
|
Min. 18,0
|
3.
|
Lemak kasar
|
%
|
Maks. 8,0
|
4.
|
Serat kasar
|
%
|
Maks. 6,0
|
5.
|
Abu
|
%
|
Maks. 8,0
|
6.
|
Kalsium (Ca)
|
%
|
0,90 – 1,20
|
7.
|
Fosfor (P) total
|
%
|
0,60 – 1,00
|
8.
|
Energi Metabolisme (EM)
|
Kkal/Kg
|
Min. 2900
|
Sumber : Standar Nasional Indonesia (2006)b
II.2 Suhu Sebagai Faktor Lingkungan
Fisik
Pengaruh Unsur-Unsur Lingkungan Fisik Terhadap
Produktivitas Penampilan Ternak :
1. Temperatur (Suhu Udara)
Temperatur udara
sangat penting sebagai faktor bioklimatik dalam lingkungan fisik ternak.
Temperatur udara disekitar ternak sangat penting untuk kenyamanan ternak dan
fungsi-fungsi proses fisiologisnya. Secara normal panas tubuh ternak akan
dilepas secara konduksi melalui permukaan kulit (panas ternak 330
C) ke udara yang lebih
dingin disekitarnya. Tetapi temperatur udara yang berada diatas kisaran
kenyamanan (130-180 C) maka pelepasan panas menurun dan apabila
temperatur udara melebihi temperatur kulit maka aliran panas akan
terjadi berlawanan arah. Temperatur dapat membuat ternak hidup nyaman,
kepanasan maupun kedinginan. Ternak yang hidup didaerah tropis umumnya banyak
yang kepanasan, sumber panas selain dari matahari adalah pancaran panas
dari tanah. Pancaran panas dari tanah kering paling besar terjadi pada
sore hari, yang mana waktu tersebut bersamaan dengan mulainya ternak yang akan
digembalakan. Didaerah yang agak kering (semi arid) dan kering (arid)
temperatur udara mencapai di atas 400
C. Temperatur tersebut sangat
mencekam kehidupan ternak terutama pada bagian tubuh sebelah bawah
(ventral). Walaupun demikian panas yang berasal dari pantulan tanah cepat
menghilang atau menurun, karena matahari juga cepat tenggelam, inipun
memberikan keuntungan pada ternak untuk melepas dengan cepat panas tubuh
yang tertimbun dengan cara konduksi ke tanah yang
sudah dingin. Cekaman yang berlangsung terus-menerus
mengakibatkan kaki ternak menjadi panjang dan tubuhnya tidak dapat gemuk
seperti halnya ternak-ternak di daerah dingin.
Pola temperatur
udara yang berlaku juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat.
Temperatur udara cenderung menurun 0,650
setiap 100 m kenaikan tinggi tempat dari
permukan laut. Kecepatan angin dan sumber angin mempunyai arti
penting terhadap tempertatur udara yang berlaku.
2. Kelembaban Udara
Kelembaban udara bersama-sama dengan temperatur udara
berpengaruh terhadap fisiologis ternak. Temperatur udara tinggi,
kelembaban tinggi maupun temperatur udara rendah dan kelembaban udara
rendah tidak baik bagi kehidupan ternak. Temperatur optimal untuk ternak
130 C-180
C ( McDowell,1977) dan 220
C -
270 C ( Ames dan Ray,1983) dengan kelembaban udara sedang maka
akan menghasilkan daerah yang nyaman bagi kehidupan ternak. Pelepasan
udara pada tubuh ternak dapat dilakukan secara radiasi,
konveksi, konduksi dan evaporasi. Pelepasan udara tubuh yang
bergantung pada kelembaban udara adalah secara evaporasi. Pelepasan udara
secara evaporasi dapat dikeluarkan melalui permukaan kulit ataupun saluran
pernapasan. Kelambatan atau kecepatan pelepasan tubuh secara evaporasi
akan mengganggu keseimbangan panas tubuh. Alat untuk mengukur kelembaban udara yang sederhana dapat
berupa pola basah dan bola kering.
Alat pengukur
kelembaban, tekanan dan tempertur udara sudah banyak diperjual-belikan.
Dengan alat ini kita dapat mengidentifikasi daerah kenyamanan. Kelembaban udara
maksimum terjadi pada pagi hari sedangkelembaban udara minimum dicapai pada
sore hari. Ternak yang selalu ada didalam kandang perlu diperhatikan
kelembabannya.
3. Energi Radiasi
Ternak di daerah
tropis perlu diadakan pengontrolan keseimbangan panas tubuhnya. Radiasi
yang datang bisa berasal dari matahari, hewan, tumbuhan dan
benda-benda lain yang memantulkan sinar. Energi radiasi yang diterima
saling di pantulkan, sehingga menyebabkan suhu udara menjadi meningkat.
Secara umum energi radiasi mempunyai korelasi negatif dengan kelembaban,
tetapi level radiasi mempunyai korelasi positif dengan temperatur
maksimum. Permukaan yang berwarna putih banyak memantulkan sinar, bagi ternak
yang berbulu putih lebih tahan di gembalakan dari pada yang berwarna
lainnya. Ternak yang berwarna hitam lebih mudah terengah-engah sewaktu berada
di padang pengembalaan yang terkena sinar matahari langsung.
4. Gerakan Udara
Pergerakan udara
dapat juga disebut angin. Angin bergerak dari daerah padat arah udara
renggang. Angin membawa panas tubuh ternak melalui pergerakannya. Laju
gerakan udara bergerak di atas permukaan kulit ternak mempengaruhi laju
pelepasan panas tubuh. Pelepasan panas tubuh ternak akan sulit dibawa
angin apabila bulu tubuh tidak dapat di tembus atau
banyak kotoran yang melekat. Pelepasan panas tubuh ternak
secara evaporasi sangat bergantung pada cepat atau lambatnya pergerakan
udara di sekitar tubuh ternak. Pelepasan panas tubuh ternak akan mudah
terjadi jika suhu udara sedang dan kecepatan angin tinggi. Angin akan
membawa panas tubuh secara konduksi sepanjang temperatur udara rendah bila
dibandingkan temperatur permukaan kulit. Akan tetapi jika pergerakan udara
semakin meningkat maka radiasi matahari menjadibertambah. Angin yang mempunyai kecepatan
sekitar 8 km/jam-16 km/jam didaerah panas penting untuk menolong
ternak yang tercekam panas. Angin yang berhembus di malam hari dengan
kecepatan sekitar 8 km/jam-16 km/jam kurang menguntungkan bagi kehidupan ternak
di daerah tropis.
5. Curah Hujan
Akibat curah hujan,
kelembaban dalam kandang meningkat yang akan mengganggu kehidupan ternak.
Disamping itu selama musim hujan banyak mineral tanah
yang tercuci. Akibatnya tidak sedikit
hijauan makanan ternak yang kekurangan mineral. Selama terjadi hujan,
matahari kurang terang bahkan tidak mengeluarkan atau menghasilkan cahaya ke
bumi. Kekurangan sinar matahari menyebabkan sistem lain menjadi terhambat.
Pola hujan musiman sangat penting bagi ternak karena
:
a. Jumlah pakan yang dapat diproduksi.
b. Panjang waktu hijauan mempertahankan kualitas.
c. Praktek penggembalaan dapat dilakukan.
d. Kebutuhan akan penyiraman dan suplai pakan suplemen.
e. Tipe pengawetan pakan yang paling sesuai.
6. Cahaya
Periode
cahaya dalam satu hari dinamakan foto periode
dan didefenisikan sebagai waktu matahari terbit dan
terbenam. Cahaya sinar matahari secara fisiologis mempengaruhi tubuh
ternak, cahaya yang diterima oleh mata ternak disalurkan ke hipotalamus
yang dapat mensekresi hormon yang dapat berfungsi untuk melestarikan
hormon-hormon lain yang di keluarkan oleh target organ.
7. Tekanan Udara
Di daerah
tropis tekanan udara tergantung pada letak daerah. Daerah ditepi pantai tekanan
udaranya lain dengan yang berada di pegunungan. Menurunnya tekanan
atmosfir akan merangsang jumlah konsumsi, tetapi jika tekanan tinggi
sebagian makanan yang normal diberikan tidak akan dimakan ternak.
Berdasarkan hasil penelitian sapi Bali di Timor pada ketinggian tempat yang
berbeda menunjukkan penampilan yang berbeda pula. Pengembangan peternakan
dengan memperhatikan unsur-unsur lingkungan merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan produktivitas.
BAB III
PEMBAHASAN
Suhu
merupakan salah satu insur fisik dari iklim yang berperan penting dalam
konsumsi ransum ayam pedaging ( broiler ). Kondisi lingkungan yang panas
ataupun dingin akan sangat berperan dalam perkembangan dan pertumbuhan ternak.
Hal ini dikarenakan suhu lingkungan yang berbeda atau berbeda diluar zona
nyaman ternak akan mengakibatkan terjadinya stress pada ternak, yang ujung –
ujungnya akan dapat mengurangi produktifitas ternak.
Jika
dilihat secara langsung, maka akan terlihat adanya korelasi negatif antara
perubahan suhu lingkungan dengan konsumsi ransum ayam broiler. Hal ini
dikarenakan pada umumnya pada kondisi lingkungan yang lebih tinggi ( panas )
maka ternak akan mengurangi konsumsi ransum, dan pada kondisi lingkungan yang
lebih rendah ( dingin ) maka ternak akan meningkatkan konsumsi ransumnya. Hal
ini logis saja untuk terjadi, karena ternak akan berusaha untuk mempertahankan
suhu tubuhnya dan agar dapat tetap bertahan hidup selama berada dalam kondisi
suhu lingkungan yang berbeda tersebut.
Konsumsi Ransum Pada Suhu Tinggi :
Suhu
lingkungan yang tinggi dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Ketinggian tempat
dan radiasi matahari merupakan 2 hal yang dapat menjadi salah satu penyebabnya,
selain beberapa faktor lainnya. Pada daerah dataran tinggi akan memiliki suhu
lingkungan yang berbeda dengan daerah dataran rendah, karena pada kenaikan
tempat sejauh 100 m diatas permukaan laut makan akan disertai dengan penurunan
suhu sebesar 10 C. Pada daerah dengan tingkat radiasi tinggi atau
lebih dikenal dengan nama daerah khatulistiwa akan memiliki suhu lingkungan
yang lebih tinggi ( panas ) dari pada daerah lainnya yang berada jauh dari
garis khatulistiwa, terutama pada daerah kutub.
Suhu
lingkunga atau kandang yang terlalu panas perlu untuk diperhatikan oleh peternak
ayam pedaging ( broiler ), karena pada kondisi lingkungan yang panas maka untuk
menyeimbangkan suhu tubuhnya ternak akan mengurangi konsumsi ransumnya. Mengapa
?. Pada suhu lingkungan yang panas, otomatis suhu tubuh ayam akan susah untuk
dikeluarkan karena suhu tubuh ternak lebih rendah dari pada suhu lingkungaa.
Artinya sirkulasi panas tubuh kelingkungan tidak bisa dilakukan. Ayam broiler
akan berusaha untuk mengurangi aktivitas tubuhnya baik aktivitas fisik maupun
metabolismenya, ini dilakukan untuk mengurangi panas metabolisme ( heat
increament ) tubuhnya. Sehingga dapat seimbang dengan lagi dengan suhu
lingkungannya. Konsumsi ransum berenergi yang lebih sedikit secara otomatis
juga akan mengurangi aktivitas metabolisme pakan didalam tubuh, sehingga dapat
mengurangi produksi panas metabolisme.
Pada
suhu panas ayam juga akan mengonsumsi air yang lebih banyak. Untuk dapat
menyeimbangkan suhu tubuhnya. Konsumsi air yang berlebih akan berkorelasi
dengan kapasitas saluran pencernaan ternak yang lebih cepat untuk penuh. Ketika
saluran pencernaan sudah penuh, maka ternak ayam akan secara otomatis berhenti
untuk makan, karena saluran pencernaannya sudah tidak bisa menampung pakan
lagi.
Kondisi
ini sudah tentu akan dapat mengurangi produksi ternak dan mengurangi keuntungan
bagi peternak. Pada saat suhu lingkungan yang panas menyebabkan konsumsi ransum
menurun, otomatis ternak tidak ada energi yang termanfaatkan untuk bisa
disimpan dalam tubuh baik dalam bentuk daging maupun lemak. Jika tidak ada
energi yang tersimpan akan berpengaruh pada pertambahan bobot badan ternak yang
melambat, dan akhirnya menyebabkan kerugian secara ekonomi kepada para
peternak.
Konsumsi Ransum Pada Suhu Rendah :
Selain
suhu tinggi ( panas ), suhu lingkungan yang lebih rendah juga akan mempengaruhi
konsumsi ransum ternak ayam pedaging ( broiler ). Secara umum pada kondisi suhu
yang lebih rendah maka ayam akan mengonsumsi pakan yang lebih banyak, karena
ayam membutuhkan energi yang lebih tinggi untuk mempertahankan suhu tubuhnya
tetap seimbang dengan lingkungan.
Ketika
suhu lingkungan lebih rendah, otomatis proses pelepasan panas dalam tubuh
ternak akan menjadi lebih mudah. Karena pelepasan panas tubuhnya yang jauh
lebih mudah maka ternak akan membutuhkan energi yang lebih tinggi lagi untuk
tetap mempertahankan suhu tubuhnya. Konsumsi ransum yang lebih tinggi atau
konsumsi energi dalam ransum yang lebih tinggi akan menyebakan proses
metabolisme dalam tubuh berlangsung lebih baik dan cepat, sehingga tubuh ternak
dapat memproduksi panas tubuh yang lebih besar pula.
Jika
dilihat dari sisi keseimbangan panas tubuh ternak, maka akan terlihat hubungan
yang positif karena konsumsi ransum yang tinggi akan menyebabkan produksi panas
tubuh yang lebih banyak juga. Namun jika dilihat dari konversi dan efiseinsi
pakan yang dibutuhka untuk mendapatkan panas tubuh yang tetap seimbang dengna
suhu lingkungan yang lebih rendah, maka akan terlihat korelasi yang yang
negatif. Hal ini dikarenakan untuk dapat menyeimbangkan suhu tubuhnya dan
memproduksi panas tubuh yang lebih tinggi, maka ternak membutuhkan energi dalam
ransum yang lebih tinggi pula. Energi yang didapatkan dari dalam pakan hanya
dipergunakan untuk memproduksi panas tubuh, tanpa ada yang dikonversi menjadi
daging atau otot. Pertubuhan ternjak juga bisa menjadi bernilai minus atau 0,
karena tidak ada energi yang dapat dipergunakan untuk melanjutkan pertumbuhan.
Energi yang ada hanya dapat dipergunakan untuk mempertahankan suhu tubuh dan
memenuhi kebutuhan pokok ( maintenance ).
Dilihat
dari sisi ekonomi dan keuntungan bagi peternak, sudah jelas akan terjadi
keruguian besar. Karena peternak akan membutuhkan pakan yang berenergi tinggi
dan bahkan dengan jumlah yang lebih besar. Kondisi ini akan meningkatkan biaya
produksi. Sedangkan konversi energi dalam ransum oleh ternak untuk menjadi
daging ataupun lemak sama sekali tidak ada. Bahkan mungkin saja ternak
mengalami pertumbuhan 0 kg.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Pada suhu lingkungan yang lebih tinggi ( panas
) maka ternak akan berusaha mempertahankan suhu tubuhnya dengan mengonsumsi
ransum yang lebih sedikit dan mengonsumsi air yang lebih banyak. Kondisi ini
akan menyebabkan tidak ada energi yang tersisa dari ransum yang dapat
dikonversi menjadi daging, sehingga ternak seolah – olah ternak tidak mengalami
pertumbuhan. Secara ekonomi hal ini jelas akan menyebabkab kerugian bagi
peternak.
Pada suhu lingkungan
yang lebih rendah, ternak ayam pedaging ( broiler ) akan membutuhkan ransum
dengan kuantitas yang lebih tinggi. Kandungan energi ransum juga akan menjadi
lebih tinggi. Namun energi ransum yang lebih tinggi hanya akan dipergunakan
untuk memproduksi panas tubuh, untuk menyeimbangkan suhu tubuhnya dengan suhu
lingkungan. Hal ini juga akan mengurangi produksi, karena tidak ada energi yang
tersisa untuk disimpan sebagai daging. Secara ekonomi hal ini sudah tentu akan
dapat mengurangi keuntungan bagi peternak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar