Jumat, 29 November 2013

ILMU NUTRISI TERNAK RUMINANSIA PROTEIN

Degradasi Protein dalam Rumen 
Sejak 20 tahun lalu, kebutuhan protein pakan untuk ternak ruminansia diekspresikan dalam bentuk Crude Protein (CP). Protein Kasar (CP) adalah semua ikatan yang mengandung N. Termasuk di dalamnya adalah :
                  1. Protein sesungguhnya (true protein) dan
                  2. Zat-zat maknan yang mengandung N tetapi bukan protein (NPN)           seperti amida-amida, alkaloid, garam-garam ammonium, urea dan      lain-lain.                                                                                Nitrogen merupakan bagian yang sangat penting dari protein. Rata-rata protein mengandung 16% nitrogen. Membicarakan metabolisme protein pada nutrisi ruminansia sebenarnya lebih tepat jika dikatakan dengan metabolisme nitrogen.
Protein pakan untuk ruminansia digolongkan menjadi protein yang dapat dicerna di dalam rumen disebut dengan Digestible Intake Protein (DIP) dan protein pakan yang lolos degradasi rumen disebut dengan Undigestible Intake Protein (UIP/By-pass protein). Ruminansia memperoleh dua sumber protein untuk kebutuhan hidupnya, yaitu dari UIP/By-pass protein dan dari mikroorganisme rumen. Protein yang masuk ke dalam rumen berasal dari pakan dan endogenus N (saliva dan dinding rumen) dan kedua sumber tersebut dapat berupa protein murni maupun nitrogen bukan protein (NPN). Di dalam rumen, DIP bersama-sama dengan protein yang berasal dari saliva akan dirombak oleh enzim protease yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri, protozoa, fungi) proteolitik menjadi oligopeptida. Sekitar 40% bakteri rumen memiliki aktifitas proteolitik. Bakteri ini memiliki enzim protease yang terikat pada permukaan sel sehingga mudah kontak dengan pakan/substrat. Protozoa juga memiliki kemampuan sebagai protease intraseluler, sehingga berperan dalam degradasi protein di dalam rumen. Selanjutnya oligopeptida akan dihidrolisa oleh enzim peptidase menjadi asam amino. Sebagian asam amino ini akan diserap melalui dinding rumen dan sebagian lagi dideaminasi menjadi asam keto alfa  yang menghasilkan amonia, CH4 dan CO2 (Sutardi, 1979). Di samping amonia perombakan protein juga menghasilkan VFA (Baldwin dan Allison, 1983). Dalam setiap proses fermentasi asam amino di dalam rumen akan selalu terbentuk amonia.
Amonia adalah sumber nitrogen yang utama dan sangat penting untuk sintesis protein mikroorganisme rumen. Menurut Baldwin dan Allison (1983), sekitar 80% mikroorganisme rumen lebih menyukai amonia dibanding dengan peptida dan asam amino sebagai sumber nitrogen untuk membentuk protein tubuhnya. Diduga mikroorganisme tersebut tidak mempunyai mekanisme transport untuk mengangkut asam amino. Jadi amonia yang terbentuk ini kemudian diubah menjadi asam amino untuk sintesis protein tubuhnya. Owen dan Bergen (1983) mengatakan protein asal mikroba rumen mampu menyumbangkan 40-80% kebutuhan asam amino ternak ruminansia. Secara umum, digesta yang ada di dalam duodenum mengandung asam-asam amino yang komposisinya hampir sama dengan komposisi asam-asam amino dari protein mikroba.
Konsentrasi amonia dalam rumen merupakan keseimbangan antara jumlah yang diproduksi, yang digunakan oleh mikroorganisme dan diserap melalui dinding rumen. Kecepatan penyerapan tergantung pada pH rumen dan konsentrasi amonia. Semakin tinggi konsentrasi amonia maka penyerapan akan semakin tinggi pula. Pada pH 6,5 atau lebih tinggi penyerapan akan lebih cepat dibandingkan pH 4,5 yang hampir mencapai 0. Amonia yang diserap jumlahnya bervariasi tergantung jenis pakan (Hungate, 1966). Konsentrasi amonia yang optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme rumen menurut Leng (1990) adalah 50 – 80 mg N/l. Namun pada penelitian yang dilakukan pada hijauan atau jerami dengan kecernaan rendah, diperlukan konsentrasi amonia 150 – 200 mg N/l. Sementara itu Sutardi (1979) melaporkan bahwa konsentrasi amonia 4 – 12 mM sudah cukup untuk mencapai pertumbuhan mikroorganisme yang maksimal.
Amonia yang dihasilkan selama fermentasi tidak semuanya disintesis kedalam protein mikroorganisme. Sebagian akan diserap ke dalam darah dan bersama-sama dengan proses deaminasi, amonia yang tidak terpakai di dalam rumen dibawa ke hati diubah menjadi urea selanjutnya dikeluarkan melalui urine (Annison dan Lewis, 1959; Hungate, 1966). Kelebihan amonia akan terakumulasi dalam cairan rumen sehingga dapat mengubah pH. Kekurangan amonia dapat menghambat aktivitas mikroorganisme untuk mensintesis protein tubuhnya dan kecepatan pencernaan sehingga menurunkan suplai energi. Selain dihasilkan oleh protein, amonia juga dapat disumbangkan dari NPN. Penggunaan 98% NPN saja sebagai sumber nitrogen tanpa dibarengi dengan sumber protein lain dapat mempertahankan pertumbuhan dan produksi ternak (Owens dan Bergen, 1983). Namun demikian, apabila ternak dalam phase produksi tinggi, maka tambahan sumber protein sebagai UIP/by-pass protein perlu dipertimbangkan. Penggunaan NPN sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein mikroorganisme akan efektif jika ransum mengandung protein rendah, cukup tersedia energi dan mineral. Efisiensi penggunaan NPN akan menurun sejalan dengan peningkatan NPN dalam ransum, semakin tinggi kadar protein ransum dan semakin rendahnya energi ransum (Clark dan Davis, 1980).   
Oleh karena itu, menurut Aldrich et al. (1983), mengoptimalkan pertumbuhan mikroorganisme rumen merupakan strategi yang lebih logis dibandingkan memperbesar persentase protein yang lolos degradasi rumen. Hal ini karena mikroorganisme rumen mensuplai protein dengan kualitas tinggi dan hasil akhir fermentasi rumen akan memenuhi sebagian besar energi yang dibutuhkan oleh hewan induk semang. Oleh karena itu, kandungan protein pakan yang optimal seyogyanya :  
                1. Dapat memenuhi kebutuhan nitrogen mikroorganisme rumen untuk                        mensintesa   protein tubuhnya secara maksimal
                       2. Mengandung by-pass protein/UIP untuk dapat dihidrolisa di usus halus      dalam rangka memenuhi kebutuhan asam amino ternak ruminansia
    Linn et al.(2002) mengatakan, maksimal mikroorganisme di dalam rumen dapat mensistesis protein tubuhnya sampai 4,5 pounds per hari. Sisanya dipenuhi dari by-pass protein. Ternak ruminansia muda yang sedang pertumbuhan maupun ternak-ternak pada saat phase produksi memerlukan lebih banyak by-pass protein untuk melengkapi kebutuhan asam aminonya sehingga produksi maksimal tercapai.
Protein pakan yang masuk ke dalam rumen kira-kira 40-75% akan mengalami perombakan oleh mikroorganisme. Sisanya merupakan by-pass protein/UIP yang akan dihidrolisa pada saluran pencernaan pasca rumen maupun terbuang lewat feces. Perombakan protein pakan di dalam rumen bervariasi dari 0 – 100% (Owens dan Bergen, 1983), namun laju perombakannya tergantung pada jenis pakan, sifat kimia dan phisik protein, jumlah mikroorganisme proteolitik, pH rumen, tingkat kelarutan protein serta lamanya berada dalam rumen atau laju aliran digesta atau rate of passage (Preston dan Leng, 1987). Aktifitas mikroba rumen yang bersifat proteolitik akan efektif apabila didukung oleh pH rumen yang optimal, yaitu pH 5,5-7,0 dengan temperatur sekitar 390C. Degradasi protein akan menurun sejalan dengan menurunnya pH rumen (Bach et al., 2005).
Degradasi protein suatu bahan pakan akan sangat mempengaruhi suplai asam amino bagi hewan inang. Proses proteolisis menentukan ketersediaan amonia, asam amino, ikatan-ikatan peptida dan asam-asam lemak rantai cabang yang mana semuanya ini akan berdampak pada kecepatan pertumbuhan mikroba rumen. Protein yang masuk ke dalam usus halus berasal dari :
1. protein pakan lolos degradasi rumen/by-pass protein
2. bacterial protein
3. endogenus protein
Getah pankreas maupun enzim protease akan memecah ketiga sumber protein ini menjadi asam amino dan peptida yang nantinya diserap di usus halus.
                    Gambar1. Degradasi protein pakan di dalam rumen.
Protein Lolos Degradasi Rumen/By-pass Protein
Adalah protein pakan yang lolos degradasi rumen dan tersedia untuk dicerna di usus halus. Tujuannya adalah :
1. Melengkapi produksi protein mikroba rumen, sehingga kebutuhan asam amino hewan inang  terpenuhi
2.  Protein yang bernilai hayati tinggi terhindar dari degradasi rumen
3.  Mencegah degradasi asam amino essensial (casein, cystin, methionine) oleh mikroba rumen.
Proses degradasi protein di dalam rumen tidak dapat dipandang sebagai suatu hal yang positip atau negatip. Pada situasi tertentu, proses degradasi protein diperlukan untuk mencukupi kebutuhan amonia bagi mikroba rumen. Pada situasi yang lain (misalnya protein pakan berkualitas tinggi) laju degradasi diharapkan tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu, terhadap protein pakan berkualitas tinggi sering dilakukan proteksi agar terlindung dari degradasi rumen. ARC (1984) mengatakan bahwa pendugaan kebutuhan protein harus mencakup jumlah protein pakan yang dapat didegradasi di dalam rumen (yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroba yang yang maksimum) dan jumlah protein pakan yang lolos degradasi rumen (yang diperlukan untuk melengkapi asam amino asal mikroba rumen).
Beberapa metoda yang biasa diterapkan untuk membuat by-pass protein :
a. Panas
            Pemanasan pada temperature 120 -180 oC akan mengurangi kelarutan protein sehingga terhindar dari mikroba rumen
b. Form aldehide/aldehide.
            Akan mengurangi kelarutan protein melalui pembentukan kompleks antara
            aldehide dengan amino bebas dari protein. Biasanya penambahan formaldehide/aldehide ini bertujuan untuk melindungi casein, cystein, methionine agar tidak difermentasi dalam rumen, namun bisa dicerna/dihidrolisa di abomasum.  Perlakuan aldehide/formaldehide ini biasanya terjadi pada pemeliharaan dengan pertambahan berat badan tinggi (penggemukan). Kelebihan aldehide/formaldehide dapat menghambat aktifitas selulolitik mikroba rumen yang pada akhirnya dapat menurunkan kecernaan pakan serat secara keseluruhan.
c. Encapsulasi asam amino dengan lemak.
            Lemak merupakan bahan yang tidak larut dalam rumen tetapi larut dalam
            suasana asam. Abomasum dan usus halus mempunyai pH yang lebih rendah dari pada di dalam rumen. Lemak akan dapat dihidrogenasi dengan adanya lipase dan empedu di dalam duodenum.
d. Tannin
            Tannin merupakan bahan yang kurang larut di dalam rumen. Tannin akan cepat membentuk lapisan seperti kulit dengan protein. Penambahan tannin 3% akan menurunkan proteolisis pada pH rumen. Ikatan yang terbentuk antara tannin dengan protein akan pecah pada suasana asam di abomasum. Pemakaian tannin melebihi 5% akan menghambat aktifitas mikroba selulolitik sehingga menurunkan kecernaan pakan serat dalam rumen. Kemampuan tannin melindungi degradasi protein di dalam rumen tergantung pada sumber protein yang akan dilindungi. Apabila tannin ditambahkan untuk melindungi protein dari daun gliricidia maupun casein, maka kandungan tannin yang optimum adalah 60 mg/g daun gliricidia. Sementara level tannin optimum untuk melindungi protein dari tepung kacang kedelai adalah 80 mg/g kacang kedelai.
            Pada penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth and Abdurohman (2005) yang membandingkan  kemampuan tannin dan formaldehide mendapatkan bahwa kecernaan bahan kering tannin-protein kompleks lebih tinggi dibandingkan dengan formaldehide-protein kompleks. Protein by-pass yang diperoleh dengan memakai tannin sebagai pelindung protein tepung kacang kedelai adalah 27,9 g/100g by-pass protein. Sedangkan protein by-pass yang dihasilkan dengan memakai formaldehide adalah 54,1 g/100 g by-pass protein.
Tabel 1. Efek Penggunaan Pod Kakao Kada Sapi Holstein Jantan
Variabel
Pod Kakao
0%
15%
30%
45%
Konsumsi BK, kg/hr
3,40
3,33
3,80
4,40
Kecernaan BK, %
71,0
61,5
55,1
43,1
DE, MJ/kg
12,7
11,8
8,8
8,9
Kecernaan PK, %
50,5
53,4
45,8
38,9
Retensi N, g/hr
6,86
20,0
24,6
29,9
Pertumbuhan, kg/hr
0,750
0,723
0,928
0,830
Sumber Ernie Amirroenas (1990) dalam Sutardi (1997). Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-Ilmu Nutrisi Ternak. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap IPB







Sintesa Protein Mikroorganisme
Protein asal mikroba menyumbangkan  sebagian besar protein, mencapai 50 – 80% total protein yang masuk ke dalam usus halus. (Orskov, 1983). Jumlah protein mikroba yang masuk ke dalam usus halus tergantung pada ketersediaan zat-zat makanan dan efisiensi penggunaan zat-zat makanan ini oleh mikroba itu sendiri. Kecepatan pertumbuhan mikroba rumen sangat mempengaruhi suplai asam amino ternak inang, oleh karena itu penting untuk memacu pertumbuhan mikroba rumen dengan kecukupan zat-zat makanan yang diperlukannya. Sintesa protein mikroba, absorpsi peptida dan asam amino tergantung energi yang tersedia. Jika energi tersedia cukup, asam amino akan secara langsung digunakan untuk sintesis protein mikroba. Sebaliknya, jika energi yang tersedia kurang mencukupi maka asam amino akan di fermentasi menjadi FVA. Faktor-faktor yang mempengaruhi sintesa protein mikroorganisme yang optimal:
I. Nutrient Preqursor
Semua nutrient preqursor harus tersedia dalam konsentrasi yang optimum di
dalam rumen. Nutrien tersebut adalah              
         1. Energi dalam bentuk ATP
         2. Nitrogen
         3. Asam-asam amino
         4. Asam-asam lemak rantai cabang (BCFA = branched-chain fatty acids)
         5. Mineral
         6. Vitamin
1. Energi dalam bentuk ATP
            Suplai energi yang fermentabel merupakan faktor pembatas utama untuk pertumbuhan mikroba rumen. Readily fermentable carbohydrates seperti gula dan pati
akan lebih efektip sebagai sumber energi dibandingkan dengan selulose.                
Produksi protein mikroba dapat diukur berdasarkan ME, fermentable ME, digestible karbohidrat atau bahan organik yang fermentable. Sintesa protein mikroba yang maksimum bisa dihasilkan hanya dari pemberian hijauan dengan kualitas bagus. Menurut Verbic (2002), apabila ternak diberi hijauan dengan kecernaan bahan organik 82%, maka sintesa protein mikroba mencapai 130 g/kg DM intake. Namun ketika kecernaan bahan organik hijauan yang diberikan menurun menjadi 60%, maka produksi protein mikrobapun menurun menjadi 90 g/kg DM intake. Menurut Huber dan Kung (1981), efisiensi sintesis protein mikroba rumen dapat dimaksimumkan bila semua prekursor tersebut tersedia dalam jumlah yang cukup. Hal ini berarti bahwa suplementasi suatu nutrien harus diselaraskan dengan ketersediaan nutrien lainnya. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu produksi protein mikroba karena selain merupakan sumber kerangka karbon juga sebagai  sumber energi dalam bentuk ATP.
2 Pasokan senyawa Nitrogen
Sering terjadi bahwa pertumbuhan mikroba rumen dibatasi oleh ketersediaan energi. Akan tetapi pada keadaan tertentu amonia atau sumber nitrogen lainnya bisa jadi lebih defisien dibandingkan dengan energi. Misalnya, ternak diberi ransum yang mengandung sumber energi mudah terlarut (degradable energi) cukup tinggi namun proteinnya sulit terfermentasi di dalam rumen. Pada keadaan seperti ini maka amonia, asam-asam amino dan peptida menjadi defisien untuk pertumbuhan mikroba. Untuk ransum seperti ini perlu ditambahkan sumber nitrogen agar pertumbuhan mikroba rumen tidak terhambat (Clark et al., 1987). Menurut Minson (1993), jumlah protein yang disintesa oleh mikroba rumen tergantung pada nitrogen yang dilepaskan dan energi yang tersedia. Menurut Aldrich et al. (1993), Kecepatan produksi ATP dari fermentasi rumen agar sebanding dengan kecepatan pelepasan amonia dari hasil fermentasi protein di dalam rumen. Sehingga dengan demikian sintesa protein mikroba yang maksimal bisa tercapai. Rata-rata produksi protein mikroba adalah 81g CP/Kg DM intake. Nilai ini bervariasi dari 34 – 162 g CP/Kg DM intake.
            Seperti telah disampaikan sebelumnya, degradasi protein (terutama yang berkualitas bagus) dalam rumen merupakan faktor yang merugikan. Namun di lain pihak, senyawa nitrogen yang dilepaskan pada saat degradasi protein penting untuk pertumbuhan mikroba rumen. Pasokan nitrogen selain diperoleh dari protein pakan (true protein maupun NPN), juga bisa diperoleh dari nitogen metabolik/endogenus N yang berasal dari oksidasi asam amino jaringan ternak yang di daur ulang di dalam rumen.
Nolan et al. (1989) menyatakan bahwa efisiensi pertumbuhan mikroba rumen akan meningkat dan aliran protein asal mikroba rumen serta protein pakan ke organ pasca rumen akan lebih banyak bila protozoa tidak ada. Merchen dan Titgemeyer (1992) juga mengatakan bahwa defaunasi dapat meningkatkan aliran protein kasar ke organ pencernaan pasca rumen sebesar 18%.
Tabel 2. Pengaruh Defaunasi Rumen  terhadap Pertumbuhan Ternak, Konsumsi dan
              Parameter Rumen.
Peubah
Ternak
Faunasi
Defaunasi
Sumber Pustaka
Pertumbuhan (g/hari)
Sapi
530
757
Bird & Leng (1978)
Domba
122
132
Bird & Leng (1984)
Konsumsi BK (g/hari)
Domba
870
930
Bird & Leng (1984)
Domba
455
510
Bird (1991)
Amonia rumen (mgN/l)
Domba
348
272
McNabb et al. (1988)

Domba
255
163
Ushida et al. (1988)
N-mikroba (g/kg BOFD)*
Domba
32
35
Rowe et al. (1985)
Domba
27,4
42,7
Meyer et al. (1986)
Degradasi protein (%)**
Domba
54,5
43,8
Jouany (1991)
Keterangan :
*    Bahan Organik Terfermentasi di Rumen
**  Rataan dari 4 macam sumber protein pakan
Tabel 3. Konsentrasi N-NH3 Optimum untuk Pertumbuhan Mikroba Rumen
No.
N-NH3 (Amonia)
Daftar Pustaka
1
50 – 80 mg N/l
Leng (1990)

150 – 200 mg N/l
Leng (1990)
2
4 – 12 mM
Sutardi (1979)
3
20 – 22 mg N/100 ml
National Academy Press (1985)

3. Asam amino
            Untuk sintesis protein tubuhnya, mikroba juga memerlukan asam amino yang diperoleh dari degradasi protein pakan. Tetapi umumnya sebagian besar asam amino akan dideaminasi menjadi amonia yang kemudian digunakan untuk sistesis protin mikroba.  Hanya asam amino tertentu saja yang penting bagi pertumbuhan mikroba rumen untuk dikonversi seperti : leucine, isoleucine dan valin masing-masing menjadi iso valerat, 2-methylbutyrate dan isobutyrate.
Ternak ruminansia sama dengan ternak monogastrik, tidak dapat mensintesa semua asam amino. Oleh karena itu, pada ternak ruminansia juga dikenal istilah asam amino essensial (indispensable amino acids) dan asam amino non essensial (dispensable amino amino acids). Mikroba rumen mempunyai peranan sangat besar terhadap asam amino yang sampai di usus halus. Profil asam amino yang sampai di usus halus sangat berbeda dengan yang ada pada pakan yang diberikan. Hal ini disebabkan karena kemampuan mikroba rumen mengubah kualitas protein pakan yang rendah menjadi kualitas yang bagus. Namun sebaliknya mikroba rumen juga mengubah protein pakan kualitas bagus menjadi tidak bermutu apabila sumber protein tersebut tidak dilindungi. 

4. Branched Chain Fatty Acids
BCFA berasal dari produk fermentasi protein ransum dan mikroba rumen yang lisis.  Jika BCFA kurang, maka perlu disuplementasi.Biasanya BCFA diperlukan pada ternak-ternak yang mengalami defaunasi dan pada ternak yang pada ransumnya lebih banyak menggunakan NPN. Walaupun penambahan NPN dapat meningkatkan produktifitas mikroorganisme, namun untuk mengoptimalkan pemanfaatan NPN tersebut harus diimbangi dengan penambahan karbohidrat. Seperti yang dikatakan oleh Montong et al. (1981)  bahwa penambahan protein dalam ransum dimana tersedia pati akan menaikkan kecernaan pakan karena pati sebagai sumber energi (ATP) yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba rumen. Selanjutnya Clark dan Davis (1980) mengatakan, NPN akan digunakan lebih efisien apabila ditambahkan dalam jumlah yang sedikit dalam ransum yang rendah protein dan tinggi energi. Efisiensi penggunaan NPN menurun dengan semakin meningkatnya taraf NPN, semakin tingginya kadar protein ransum dan semakin rendahnya kadar energi ransum.
5. Mineral
   Terutama mineral sulfur baik untuk sintesa protein mikroba yang mengandung sulfur maupun untuk pertumbuhan hewan inang. Asam amino yang mengandung sulfur : Methionine, Sistin dan Sistein.  Kadar sulfur mencapai 8 g/kg biomassa mikroba.  sulfur juga merupakan komponen vitamin terutama tiamin dan biotin. Suplementasi sulfur  penting untuk memacu pertumbuhan fungi dan bakteri selulolitik yang mampu meningkatkan kecernaan pakan serat sampai 16%. Suplementasi sulfur juga dapat meningkatkan laju sintesis asam amino yang bersulsfur dan aliran protein mikroba ke pasca  rumen. Sulfur yang diberikan bisa sulfur organik maupun anorganik. Sumber sulfur bisa diperoleh dari garam-garam sulfat (amonium sulfat, natrium sulfat,kalsium sulfat), methionine, hidroksi analog methionine (MHA).  
II. pH rumen
pH rumen yang rendah dapat mengganggu pertumbuhan mikroba rumen, sehingga produksi protein mikroba menjadi berkurang. Hal ini diakibatkan karena kecernaan pakan hijauan menurun sehingga energi yang semestinya bisa dimanfaatkan menjadi terbuang. Rumen pH optimum untuk sintesa protein maksimal adalah 6,5 – 7,2, suasana rumen anaerobik dan suhu rumen konstant 37,5 – 38,5 oC.
Menurut Demeyer dan Van Nevel (1979) pada domba yang didefaunasi, sintesis protein mikrobanya 33% lebih tinggi dibandingkan sintesis protein mikroba pada domba yang tidak di defaunasi. Sumbangan biomassa protozoa rumen untuk nutrisi induk semang tidak begitu banyak. Hal ini disebabkan karena biomassa protozoa tidak tersedia bagi pencernaan di usus. Protozoa cenderung tertahan di rumen sehingga memiliki nilai ” turn over” yang lambat, hanya sebagian kecil saja protozoa yang mengalir ke pasca rumen (Leng et al., 1986). Pada situasi yang lain, kehadiran protozoa diperlukan untuk mempertahankan pH rumen. Protozoa biasanya akan menyimpan karbohidrat pakan yang mudah larut (Soluble carbohydrates/Readily Fermentable Carbohydrate = RFC) ke dalam tubuhnya. Dengan demikian akan memperlambat laju konversi RFC menjadi asam laktat. Konversi yang terlalu cepat menjadi asam akan berakibat pada penurunan pH rumen. Penurunan pH rumen yang drastis akan mematikan bakteri rumen terutama yang bersifat selulolitik. Menurunnya jumlah bakteri yang bersifat selulolitik berdampak pada menurunnya kecernaan pakan serat dan juga sintesa protein mikroba.


III. Rumen outflow rate/laju alir digesta/rate of  passage
            Semakin cepat laju alir digesta, maka sintesa protein mikroba juga semakin meningkat. Semakin cepat laju alir digesta berarti semakin tinggi dry matter intakenya (DMI). Hijauan kualitas rendah mempunyai laju alir digesta yang rendah, sehingga DMI juga rendah. Hal ini pada gilirannya menghasilkan sintesa protein mikroba yang rendah pula. Menurut Verbic (2002) sintesa protein mikroba  meningkat 20% apabila rumen outflow meningkat dari 0,02 menjadfi 0,08/jam.

Senin, 25 November 2013

TEKNIK PENYIMPANAN KULTUR MURNI DAN MENGKARAKTERISASI PERTUMBUHAN KOLONI MURNI HASIL ISOLASI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Mikroba yang ditemukan di suatu lingkungan ditemukan dalam populasi campuran, sangat jarang sekali yang ditemukan sebagai satu spesies tunggal. Penelitian mengenai mikroorganisme biasanya memerlukan teknik untuk memisahkan populasi campuran pada permulaanya, atau biakan campuran, menjadi spesies-spesies yang berbeda-beda sebagai biakan murni. Biakan murni terdiri dari suatu populasi sel yang berasal dari satu sel induk (Prescott, 2003). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemeliharaan kemurnian isolat selama penyimpanan, agar produk atau metabolisme suatu mikroba termasuk kapang tetap terjaga. Pengetahuan akan nutrisi pertumbuhan akan membantu di dalam mengkultivasi, mengisolasi dan mengidentifikasi mikroba, karena mikroba memiliki karakteristik dan ciri yang berbeda-beda di dalam persyaratan pertumbuhannya.
Suatu jenis koloni mikroba yang terpisah dari koloni campurannya akan lebih mudah  untuk diamati. Selain itu teknik untuk memisahkan dan mendapatkan koloni tunggal serta pemeliharannya terdapat beberapa jenis. Teknik-teknik tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Beberapa cara dapat dilakukan untuk menentukan jumlah bakteri yang terdapat pada bahan pemeriksaan. Cara yang paling sering digunakan adalah cara penghitungan koloni pada lempeng pembiakan (plate count), atau juga  dapat dilakukan penghitungan langsung secara mikroskopis  (Burrows, 2004). Oleh karena itu, untuk mempelajari teknik isolasi, pemurnian mikroba, serta keuntungan dan kelemahannya, maka praktikum Isolasi dan Pemurnian Mikroba, Teknik Pemeliharaan Kultur Murni penting untuk dilakukan.

1.2  Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari teknik penyimpanan kultur murni dan mengkarakterisasi pertumbuhan koloni murni hasil isolasi.


1.3  Manfaat
Setelah melakukan praktikum ini mahasiswa akan mempunyai keterampilan serta keahlian dalam mengisolasi, memurnikan dan memelihara suatu biakan dengan beberapa macam teknik, sehingga memudahkan isolasi, pemurnian yang dilakukan di lapangan serata menyimpan biakan tersebut.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Media agar merupakan substrat yang sangat baik untuk memisahkan campuran mikroorganisme sehingga masing-masing jenisnya menjadi terpisah-pisah. Teknik yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme pada media agar memungkinkannya tumbuh dengan agak berjauhan dari sesamanya, juga memungkinkan setiap selnya berhimpun membentuk koloni, yaitu sekelompok massa sel yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Bahan yang diinokulasikan pada medium disebut inokulum, dengan menginokulasi medium agar nutrien (nutrien agar) dengan metode cawan gores atau media cawan tuang, sel-sel mikroorganisme akan terpisah sendiri-sendiri. Setelah inkubasi, sel-sel mikroba individu memperbanyak diri secara cepat sehingga dalam waktu 18 sampai 24 jam terbentuklah massa sel yang dapat dilihat dan dinamakan koloni. Koloni dapat terlihat oleh mata telanjang. Setiap koloni merupakan biakan murni satu macam mikroorganisme (Pelczar dan Chan, 2007).
Kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh dan tetap hidup merupakan suatu hal yang penting untuk diketahui. Pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba sangat penting di dalam mengendalikan mikroba. Berikut ini faktor-faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba (Suriawiria, 2005):
a. Suplai Energi
 Mikroba sama dengan makhluk hidup lainnya, memerlukan suplai nutrisi sebagai sumber energi dan pertumbuhan selnya. Unsur-unsur dasar tersebut adalah : karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, sulfur, fosfor, zat besi dan sejumlah kecil logam lainnya. Ketiadaan atau kekurangan sumber-sumber nutrisi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba hingga pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
            Kondisi tidak bersih dan higinis pada lingkungan adalah kondisi yang menyediakan sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba sehingga mikroba dapat tumbuh berkembang di lingkungan seperti ini. Oleh karena itu, prinsip daripada menciptakan lingkungan bersih dan higinis adalah untuk mengeliminir dan meminimalisir sumber nutrisi bagi mikroba agar pertumbuhannya terkendali.

b. Suhu/Temperatur
            Suhu merupakan salah satu faktor penting di dalam mempengaruhi dan pertumbuhan mikroorganisme. Suhu dapat mempengaruhi mikroba dalam dua cara yang berlawanan. Apabila suhu naik maka kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan dipercepat. Sebaliknya apabila suhu turun, maka kecepatan metabolisme akan menurun dan pertumbuhan diperlambat. Apabila suhu naik atau turun secara drastis, tingkat pertumbuhan akan terhenti, kompenen sel menjadi tidak aktif dan rusak, sehingga sel-sel menjadi mati. Berdasarkan hal di atas, maka suhu yang berkaitan dengan pertumbuhan mikroorganisme digolongkan menjadi tiga, yaitu : Suhu minimum yaitu suhu yang apabila berada di bawahnya maka pertumbuhan terhenti.  Suhu optimum yaitu suhu dimana pertumbuhan berlangsung paling cepat dan optimum. (Disebut juga suhu inkubasi).  Suhu maksimum yaitu suhu yang apabila berada di atasnya maka pertumbuhan tidak terjadi.
Berdasarkan ketahanan panas, mikroba dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
 Peka terhadap panas, apabila semua sel rusak apabila dipanaskan pada suhu 60oC selama 10-20 menit. Tahan terhadap panas, apabila dibutuhkan suhu 100oC selama 10 menit untuk mematikan sel. Thermodurik, dimana dibutuhkan suhu lebih dari 60oC selama 10-20 menit tapi kurang dari 100oC selama 10 menit untuk mematikan sel.

c.  Keasaman atau Kebasaan (pH)
Setiap organisme memiliki kisaran pH masing-masing dan memiliki pH optimum yang berbeda-beda. Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran ph 8,0 – 8,0 dan nilai pH di luar kisaran 2,0 sampai 10,0 biasanya bersifat merusak.

d.  Ketersediaan Oksigen
Mikroorganisme memiliki karakteristik sendiri-sendiri di dalam kebutuhannya akan oksigen. Mikroorganisme dalam hal ini digolongkan menjadi  Aerobik : hanya dapat tumbuh apabila ada oksigen bebas.  Anaerob : hanya dapat tumbuh apabila tidak ada oksigen bebas.  Anaerob fakultatif : dapat tumbuh baik dengan atau tanpa oksigen bebas. Mikroaerofilik : dapat tumbuh apabila ada oksigen dalam jumlah kecil (Tortora, 2002).
Metode-metode yang dapat digunakan untuk mengisolasi biakan murni mikroorganisme antara lain cawan gores (sterak plate), cawan tebar, dan cawan tuang.
1.      Teknik Dilusi (Pengenceran)  
             
Gambar 1. Teknik Dilusi (Rachdie, 2008)
            Teknik dilusi sangat penting di dalam analisa mikrobiologi. Karena hampir semua metode perhitungan jumlah sel mikroba mempergunakan teknik ini, seperti TPC (Total Plate Count).
Cara Kerja :
-
          Dari larutan kultur kita ambil 1 ml dan kita masukkan ke dalam 9 ml aquades atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/10 bagian.
-          Dari larutan dilusi 1/10 kita ambil 1 ml dan kita masukkan ke dalam 9 ml aquades atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/100 bagian.
-          Dari larutan dilusi 1/100 kita ambil 1 ml dan kita masukkan ke dalam 9 ml aquades atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/1000 bagian.
-          Dari larutan dilusi 1/1000 kita ambil 1 ml dan kita masukkan ke dalam 9 ml aquades atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/10.000 bagian.
-          Dan seterusnya
Maksud dari 1/10, 1/100, 1/1000, 1/10.000 dst adalah suatu rasio dilusi yang apabila pada tiap dilusi ditumbuhkan ke dalam suatu media dan koloninya yang tumbuh dapat dihitung, maka jumlah sel mikroba dapat diketahui dengan cara :
Jumlah koloni x
1
Pengenceran
Misal :
Apabila pada dilusi 1/100 tumbuh sebanyak 20 koloni, maka dapat diketahui jumlah sel adalah :
20 koloni x
1
= 2000 sel
1/100
Apabila pada dilusi 1/1000 tumbuh sebanyak 3 koloni, maka dapat diketahui jumlah sel adalah :
2 koloni  x
1
= 3000 sel
1/1000
Oleh karena itu, dengan metode dilusi kita dapat memperkirakan jumlah sel mikroba pada suatu benda atau produk.
2. Teknik Pour Plate (Lempeng Tuang)
Teknik Pour Plate adalah suatu teknik dalam menumbuhkan mikroorganisme dalam media agar dengan cara mencampurkan media agar cair dengan stok kultur. Teknik ini umumnya digunakan pada metode Total Plate Count (TPC). Sedangkan teknik streak plate adalah suatu teknik dalam menumbuhkan mikroorganisme dalam media agar dengan cara menggores (streak) permukaan agar dengan jarum yang telah diinokulasi dengan kultur mikroba. Teknik ini menjadikan mikroorganisme tumbuh dan tampak pada goresan-goresan inokulasi bekas jarum (Radchie, 2008).

3. Teknik Streak Plate
     
Gambar 2 . Teknik Streak Plate  (Rachdie, 2008)
            Teknik streak plate (lempeng gores) adalah suatu teknik di dalam menumbuhkan mikroorganisme di dalam media agar dengan cara menstreak (menggores) permukaan agar dengan jarum ose yang telah diinokulasikan dengan kultur bakteri. Dengan teknik ini mikroorganisme yang tumbuh akan tampak dalam goresan-goresan inokulum bekas dari streak jarum enten.
4. Pemeliharaan Kultur pada Slant Agar
http://www.mansfield.ohio-state.edu/%7Esabedon/black06_files/image005.gif
                                    (a)                                                                               (b)
Gambar 3. Teknik Slant Agar. (a) memasukkan kultur pada slant agar (b) bagian-bagian yang akan dipindahkan  (Rachdie, 2008)
            Agar slants adalah kultivasi biakan mikroba ke dalam agar miring di dalam tabung reaksi untuk melihat karakteristik koloni bakteri yang tumbuh. Tiap bakteri memiliki karakteristik koloni yang berbeda. Karakteristik yang diamati pada koloni bakteri yang tumbuh adalah (Rachdie, 2008):
 Karakteristik Pertumbuhan Koloni Bakteri
Ukuran : Diameter koloni yang diukur di dalam mm atau cm
Bentuk Keseluruhan Koloni : Sirkular, irregular, punctiform, rhizoid
Tepi / Margin : Entire, lobate, erose, undulate
Elevasi : Datar (flat), raised, convex (cembung), pulvinate, umbonate, crateriform
Permukaan : Wrinkled, rough (kasar), concentric rings, dull, glistening, waxy
Pigmentasi :
Warna : merah, kuning, krim, putih, tidak berwarna
Kelarutan dalam air : larut dalam air, tidak larut dalam air
Opasitas : Transparan, translucent, opaque
Bau : manis, putrefactive, fruity











BAB III
METODE PRAKTIKUM


3.2  Cara Kerja
3.2.1  Teknik  Dilusi (Pengenceran)
Sampel (tanah murni dan tanah yang ditambah dengan pestisida) ditimbang sebanyak 5 mg dan dimasukkan ke dalam 45 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/10 bagian. Dari larutan dilusi 1/10 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/100 bagian. Dari larutan dilusi 1/100 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/1.000 bagian. Dari larutan dilusi 1/1.000 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/10.000 bagian. Dari larutan dilusi 1/10.000 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/100.000 bagian. Dari larutan dilusi 1/100.000 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/1.000.000 bagian.

3.2.2  Teknik Pour Plate (Lempeng Tuang)
Diambil sampel sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran berseri pada teknik dilusi dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril, cawan segera ditutup agar terhindar dari kontaminan. Masing-masing cawan petri berisis hasil pengenceran ditambahkan dengan Potato Dextrose Agar (PDA) untuk kapang, dan media Nutrient agar (NA) untuk bakteri. Segera setelah media dimasukkan, cawan petri diputar secara perlahan-lahan di atas meja horizontal untuk mengaduk campuran media agar dengan dilusi kultur mikroba. Setelah memadat, cawan-cawan tersebut diletakkan dalam posisi terbalik. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar, untuk kapang dan bakteri dilakukan inkubasi minimal selama 3x24 jam. Karakteristik koloni yang tumbuh diamati.


Cara Kerja Isolasi Bakteri

  • Sample seberat 1 g dimasukan ke dalam tabung pengenceran 10-1 secara aseptis dan selanjutnya dilakukan pengenceran bertingkat sampai 10-8
  • Tiga pengenceran terakhir diambil 0,1 ml untuk ditanam secara spread plate pada medium NA, setelah selesai, diinkubasi pada 37oC selama 1x24 jam
  • Koloni akan tumbuh pada ketiga cawan tersebut kemudian dipilih koloni yang relatif terpisah dari koloni lain dan koloni yang mudah dikenali
  • Koloni yang terpilih kemudian ditumbuhkan atau dimurnikan ke NA baru dengan teknik streak kuadran
  • Inkubasi 1x24 jam.
clip_image052clip_image054












BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Prosedur
4.1.1 Teknik Dilusi (Pengenceran)
Teknik dilusi sangat penting di dalam analisis mikrobiologi, karena hampir semua metode perhitungan jumlah sel mikroba diawali teknik ini. Teknik dilusi dilakukan untuk benar-benar mendapatkan koloni tunggal. Sampel (tanah murni dan tanah yang ditambah dengan pestisida) ditimbang sebanyak 5 mg dan dimasukkan ke dalam 45 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/10 bagian. Dari larutan dilusi 1/10 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/100 bagian. Dari larutan dilusi 1/100 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/1.000 bagian. Dari larutan dilusi 1/1.000 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/10.000 bagian. Dari larutan dilusi 1/10.000 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/100.000 bagian. Dari larutan dilusi 1/100.000 diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garfis atau larutan buffer pepton untuk memperoleh dilusi 1/1.000.000 bagian. Maksud dari 1/10, 1/100, 1/1000, 1/10.000 hingga seterusnya merupakan suatu rasio dilusi yang apabila pada tiap dilusi ditumbuhkan kedalam suatu media dan koloninya yang tumbuh dapat dihitung. Pengenceran dilakukan untuk mendapatkan koloni yang akan diisolasi dengan meminimalkan kontaminasi dan penambahan nutrisi untuk mikroba

4.1.2 Teknik Pour Plate
Pada teknik pour plate, mula-mula diambil sampel sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran berseri pada teknik dilusi dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril, cawan segera ditutup agar terhindar dari kontaminan. Potato Dextrose Agar (PDA) merupakan media yang digunakan untuk menumbuhkan kapang, sedangkan Nutrient Agar (NA) merupakan media yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri, media ini dipanaskan agar mencair, kemudian sedikit didinginkan sehingga suhunya kira-kira 40-50°C, pendinginan ini dilakukan untuk mendapatkan suhu yang ideal sehingga agar tidak mengeras namun tidak terlalu panas yang mengakibatkan kematian koloni yang akan dibiakkan.. Masing-masing cawan petri berisi hasil pengenceran ditambahkan dengan Potato Dextrose Agar (PDA) untuk kapang, dan Nutrien Agar (NA) untuk bakteri. Segera setelah media dimasukkan, cawan petri diputar secara perlahan-lahan di atas meja horizontal untuk mengaduk campuran media agar dengan dilusi kultur mikroba. Setelah memadat, cawan-cawan tersebut diletakkan dalam posisi terbalik. Cawan diletakkan dalam posisi terbalik berfungsi untuk mencegah kondensasi menitis dari bawah ke atas permukaan agar yang dapat memfasilitasi pergerakan organisme antara koloni (Sciencestuff, 2008). Inkubasi dilakukan pada suhu 300C (jika tergolong mikroba mesofil) dengan lama inkubasi 24 jam untuk bakteri dan paling sedikit 3x24 jam untuk kapang. Perbedaan waktu inkubasi adalah karena waktu pertumbuhan dan perkembangbiakkan antara bakteri dan kapang berbeda. Inkubasi dilakukan untuk memberikan suasana yang memungkinkan (optimal) untuk pertumbuhan bakteri dan kapang hingga terbentuk koloni. Inkubasi dilakukan dengan posisi cawan terbalik. Hal ini dilakukan agar untuk mencegah kondensasi menitis dari bawah ke atas permukaan agar yang dapat memfasilitasi pergerakan organisme antara koloni (Sciencestuff, 2008). Karakteristik koloni yang tumbuh diamati.

4.2 Data Hasil Praktikum
Tabel 1. Hasil Penghitungan Bakteri
No.
Pengenceran
∑ Koloni Cawan
∑ Sel Mikroba Tiap
ml/gr bahan
Ulangan I
Ulangan II
P 1
10-2
128
32
8 x 105
10-3
49
17
10-4
5
15
10-5
1
2
10-6
3
3
NP 2
10-2
42
43
4,25 x 105
10-3
7
18
10-4
12
15
10-5
-
3
10-6
3
2



            4.3 Analisa Hasil
  Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa hasil TPC berhubungan dengan seri pengenceran. Hal ini dikarenakan dengan melakukan pengenceran berseri, maka jumlah mikroba yang tersuspensi di dalam cairan menjadi lebih kecil., hal ini terlihat dari jumlah mikroba yang teramati setelah pengenceran hingga ke enam kalinya, bahwa umumnya semakin banyak pengenceran yang dilakukan maka jumlah mikroba yang terhitung semakin sedikit.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, didapatkan bahwa jumlah koloni pada media dengan penambahan pestisida lebih banyak daripada koloni non-pestisida. Hal ini bisa disebabkan karena bakteri maupun kapang yang ditumbuhkan pada media dengan penambahan pestisida memiliki resistensi yang sangat tinggi dibandingkan pada media non-pestisida, sehingga jumlah koloni yang terbentuk pun akan semakin banyak.

Karakterisasi Bakteri
ž  Media Nutrient Agar Non Pestisida
Bentuk bakteri yang telah didapat dari hasil isolasi murni adalah dengan bentuk bulat, berfilamen, dan tidak teratur. Konfigurasi bakteri yang didapat adalah dengan tepi yang menyeluruh, erose, lobate, dan beralun. Kebanyakan dari konfigurasi bakteri adalah menyeluruh. Elevasi merupakan bentuk pada permukaan bakteri dengan permukaan  cembung dan pulvinat. Tekstur dari bakteri yang didapat sebagian besar adalah berkontur. Tekstur berkontur merupakan tekstur dimana permukaan dari sel bakteri adalah licin dan beralun secara tidak teratur. Konsistensi pada sel bakteri  seperti mentega dan pertumbuhannya mengikuti bekas garsan bekas inokulasi. Ciri optik pada bakteri adalah opalesens yaitu seperti warna putih-kebiruan atau warna susu dengan ciri warna yang kelihatan berubah-ubah, dan berkilat. Pigmentasi pada bakteri sebagian besar memiliki warna kuning, putih tulang, dan putih.

ž  Media Nutrient  Agar Pestisida
Bentuk dari bakteri pada media NA dengan pestisida semua berbentuk bulat. Konfigurasi pada bakteri semuanya adalah menyeluruh. Elevasi pada bakteri adalah cembung dan menaik dengan tekstur berkontur. Konsistensi seperti mentega dengan ciri optik berkilat dan opalesens. Pigmentasi pada bakteri berwarna putih, hitam, dan tidak berwarna.





















BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Teknik penyimpanan mikroorganisme terlebih dahulu dilakukan Isolasi. Isolasi  mikroorganisme dilakukan dengan teknik dilusi atau pengenceran, dimana hasil dari teknik ini adalah 6 sampel, yaitu 10-1 - 10-6  pengenceran. Pengenceran ini merupakan langkah awal untuk mendapatkan isolat jamur yang baik. Tahap berikutnya adalah menggunakan teknik Pour Plate. Teknik ini akan memisahkan koloni murni dari populasi campuran mikroorganisme, dimana dilakukan dengan mencampurkan media agar cair dengan kultur bakteri hasil dilusi. Pemeliharaan bakteri dapat dilakukan pada agar slants atau biasa disebut agar miring. Karakteristik mikroorganisme dilakukan melalui pengamatan langsung dibawah mikroskop. Karakteristik bakteri terdiri atas bentuk, konfigurasi, elevasi, tekstur, konsistensi, ciri optik dan pigmentasi. Sedangkan karakteristik jamur ditentukan miselium, bentuk, konfigurasi, garis radial dan pigmentasi.











DAFTAR PUSTAKA

Burrows, W., J.M. Moulder, and R.M. Lewert. 2004. Texbook of Microbiology. W.B. Saunders Company, Philadelphia.
Curtis, L., A. Lieberman, M. Stark, W. Rea & M. Vetter. 2004. Isolation. http:// www.e-dukasi.net /. Diakses pada tanggal 17 April 2010
Lim,D. 2006. Microbiology, 4th Edition. McGrow-hill book, New york.
Pelczar, M. J., Chan, E.C.S. 2007. Elements of Microbiology. Mc Graw Hill Book Company. New York.
Prescott, L.M. 2003. Microbiology 5th edition. Mc Graw Hill. New York
Rachdie. 2008. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba. http://rachdie .blogsome.com/2006/10/14/faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-mikroba/. Diakses pada tanggal 17 April 2010
Sulistinah, N. 2006. Mikroba Pentranformasi Adiponitril di Palembang. Jurnal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia : 1-8
Suriawiria, U. 2005. Mikrobiologi Dasar. Papas Sinar Sinanti, Jakarta.
Tortora,G. Y, Berdell.R.F, Christine,L.C. 2002. Microbiology an Introduction. Benjamin Cummings, Addrson Wesley Long man Inc. New York